Senin, 21 Desember 2009

Legenda Pulau Flores dan Manggarai


Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis “Copa de Flores” yang berarti ” Tanjung Bunga”. Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.
Sejarah masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996) adalah sebagai berikut:
• Etnis Manggarai – Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen);
• Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio);
• Etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);
• Etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah);
• Etnis Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).l3
Masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman reformasi, Manggarai mengalami perubahan, dengan melakukan pemekaran wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya.

Masyarakat Manggarai (termasuk masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari enam kelompok etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo’o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut/seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya.

Manggarai (termasuk Manggarai Barat) Sampai Abad XIX Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya.

Cina
Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.

Jawa
Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.

Bugis, Makasar, Bima.
Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar.
Kesultanan Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan.

Kesultanan Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi). Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal. Tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai di bawah Pimpinan Guru Amenumpang yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan 1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan dikuburkan di Compang Mano.
Selain Kesultanan Goa dan Bima Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.

Belanda.
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik.

Minggu, 10 Mei 2009

Memahami Alam Pikiran Tradisional Orang Manggarai

Paham-paham personal pun kolektif yang mencuat ke permukaan dari suatu masyarakat merupakan buah dari penghayatan interaksi dan sosialisasi. Bila ditilik dari perspektif fenomenologi mod­ern, setiap pengalaman yang ada pada manusia (masyarakat) selalu merupakan eksteriorisasi dari sebuah pengalaman tentang sesuatu. Sesuatu yang merupakan isi dari pengalaman itu bisa berupa interaksi antar-persona, juga interaksi persona dengan lingkun­gan, tradisi dan adat-istiadat yang merupakan dimensi-dimensi yang melingkupi adanya (masyarakat etnis) manusia.

Secara eksternal, hal-hal yang menyangkut pola laku, sikap dan cara pandang merupakan ekspresi paling real dari terbentukn­ya kepribadian manusia. Pada aras komunitas etnis, keterkaitan antar-pribadi memberi warna khas yang membedakan satu kelompok masyarakat etnis dengan kelompok masyarakat etnis yang lainnya. Inilah yang dalam termin antropologi budaya disebut suku bangsa, atau ras. Rasa keterkaitan yang intim dalam kelompok ras menjadi titik tumpu lahirnya karakter khas dan eksklusif tertentu pada orang-orang dari daerah asal yang sama ketika mereka berada dalam satu masyarakat multikultural (masyarakat kota). Namun demikian, eksklusivitas itu tidak boleh dipandang sebagai tanda larang untuk satu interaksi lintas kultural yang baru. Justru dengan kesadaran akan diferensiasi itulah ciri dinamis eksisten­si manusia diaktualisasikan. Manusia sanggup beradaptasi bahkan merupakan ciptaan Allah yang memiliki derajat kesanggupan "penyesuaian diri" paling tinggi.

Demikianlah, untuk memahami kepribadian masyarakat etnis yang termuat dalam sikap dan pola pikir maupun cara pandang orang tertentu semestinya tidak boleh secara subjektif-relatif ditakar berdasarkan situasi aktualnya saja di tempat mana ia hidup dan berinteraksi. Setiap proses, dalam hal ini interaksi sosial lintas kultural manusia, dalam bingkai inklusif masyarakat di mana hidup orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda-beda, selalu berdimensi ganda. Di satu sisi, ada kuali­tas-kualitas tertentu yang akan lenyap atau berubah (misalnya sifat ekslusif), dan di sisi lain, ada unsur-unsur yang tetap (kekhasan alam pikiran) yang tidak berubah. Dari perspektif ini, kembali harus ditegaskan bahwa untuk menilai (jati diri) orang tertentu harus disertai pertimbangan mengenai latar belakang etnis-primordial dari mana orang itu datang. Hanya dengan ker­angka itu, kita memiliki pegangan yang cukup objektif dan pema­haman yang komperehensif mengapa orang-orang dari setting budaya yang sama memiliki karakater tertentu yang relatif sama, misa­lnya bertemperamen halus, lemah, sopan, atau bahkan kasar dan beringas.

Tulisan ini hendak melukiskan secara sedikit ilmiah, seka­lipun hanya sepintas saja, prihal "Orang Manggarai". Mengapa orang Manggarai memiliki sifat-sifat, pola pikir "begini" atau "begitu"? Apa sesungguhnya yang mereka hidupi dalam lingkungan primordialnya dan bagaimana hal-hal itu berpengaruh terhadap masyarakat maupun individu-individu yang lahir dalam bingkai masyarakat etnis Manggarai itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik tumpu refleksi penulis. Tentu saja simpul dari tulisan ini adalah pemahaman yang sedikit lebih komperehensif bahwa kemam­puan orang Manggarai untuk mengungkapkan diri tetap merupakan bukti keunggulannya sebagai manusia. Dan, unsur-unsur khas yang melekat pada "orang Manggarai" yang dihidupinya dalam komunitas plural dan inklusif mengungkapkan penghayatan emosionalnya yang mendalam akan pengalaman-pengalaman kulturalnya.

Alam Pikiran Orang Manggarai

Mengapa latar belakang falsafah (alam pikiran) penting ditelaah? Karena trend umum bahwa kajian filosofis-antropologis merupakan satu studi yang aktual dan relevan saja? Jawaban yang boleh mengemuka untuk persoalan di atas adalah "barangkali". Paling kurang ada dua pertimbangan penting mengapa dikatakan "barangkali" ketika saya berhadapan dengan persoalan seperti ini. Pertama, kenyataan plural realitas etnis di negara kita merupakan satu "kekuatan" serentak "bahaya". Pluralitas etnis menjadi kekuatan jika dimengerti dan dipahami tidak terlepas dari konteks orisinalitas eksistensi suatu masyarakat etnis untuk selanjutnya dihargai sebagai potensi produktif bagi kese­jahteraan dan kebanggaan hidup sebagai bangsa Indonesia. Akan tetapi di sisi lain, kemajemukan dapat menjadi sumber api berba­haya bila spirit primordialisme etnis dan cara pandang antar-etnis dibiarkan berkembang stereotipe tanpa pengelolaan yang matang. Dari dalam situasi ini, hanya akan muncul rasa saling curiga, tidak saling menghargai kekhasan budaya dan adat-istia­dat, arogansi etnis-kultural, dst. yang justru merupakan pemicu bagi merusak dan merenggangnya komunikasi inter-sosio-kultural sebagai satu bangsa. Jadi, usaha mendalami alam pikiran masyarakat etnis tertentu, dalam hal ini kelompok etnis Manggarai, berguna untuk membina kedewasaan relasi antar-masyarakat etnis dalam lingkup sosial yang lebih luas.

Kedua, alam pikiran suatu kelompok masyarakat etnis terten­tu, meskipun tidak selalu berciri ilmiah-sistematis, sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu sosio-antropologi. Dan, dalam konteks hidup bernegara, menyadarkan setiap warga negara untuk senantiasa menaruh hormat terhadap nilai-nilai pluralitas. Kesadaran yang sama turut memacu kematangan hidup sebagai bangsa yang demokratis. Memahami falsafah hidup, juga turut menyadarkan kita mengenai jati diri kebudayaan kita masing-masing. Itu berarti, "kesadaran" selalu merupakan sumber cahaya yang menumbuhkan kuncup-kuncup semangat untuk, meminjam kata-kata Abraham Maslow, mengaktualisasikan diri. Apa artinya bertanya: mengapa orang Manggarai memiliki kebiasaan dan sikap "begini" atau "begitu"?, jikalau hal itu tidak menghantar kita kepada kejernihan kesadar­an dan penemuan jati diri sendiri di tengah realitas sosio-kultural yang serbaneka ini?

Kebersamaan dan Orang Lain

Sejak manusia lahir dari rahim ibunya, ia tidak pernah hidup sebatang kara. Walaupun karena kerapuhan insaninya, mas­ing-msing orang cenderung untuk membebaskan diri dari ikatan sosial-kultural. Tuntutan hidup bersama ini mendorong orang tua-tua dulu harus berpikir dan mencari syarat-syarat dasarnya. Kesadaran itu terungkap misalnya dalam cara orang tua secara turun temurun menegur anaknya yang mengabaikan aturan hidup bersama. "Nana di'a-di'a bantang agu hae ata, calung-calung gauk agu hae wa'u, ai landing le mangad ase ka'e do; ai ite tara manga ranga'd one lino hoo. Toe le bengkar one mai belang. Ite hoo manga taung kuni agu kalo'd mose'd. Maik tara manga dite ai le manga dise Ende agu Ema, Ase agu Ka'e." (Terjemahan bebasnya: Anak, bekerja samalah yang baik dengan orang lain, juga berlaku baik terhadap famili. Keberadaan kita di atas muka bumi bukan sesuatu yang terlempar begitu saja seolah-olah dari rumpun buluh atau ada karena sesuatu yang ajaib. Kita ada karena orang lain ada, karena ada Ayah dan Ibu serta Saudara dan Saudari). Kiasan yang paling ditekankan dalam rentetan kata di atas adalah frase "bengkar one mai belang". Kata "bengkar" dalam bahasa Manggarai sinonim dengan kata "pecak". Keduanya mempunyai arti yang kira-kira sama, yaitu "menetas". "Belang" adalah genus bambu-bambuan, bambu yang pipih atau tipis atau lebih tepat semacam "buluh" untuk membuat seruling bambu. Jadi, seluruh frase "bengkar one belang" secara harafiah-etimologis berarti: menetas dari dalam bambu.

Dari terjemahan sederhana itu, tampak bahwa kata-kata itu tidak bermakna. Akan tetapi dalam tradisi, penggunaan kiasan itu sekurang-kurangnya menyiratkan tiga arti: pertama, mematahkan dongeng kuno (kepercayaan mitis-magis) di Manggarai yang berpan­dangan bahwa ada manusia yang pernah lahir dari rumpun bambu. Tentu saja dengan makin berkembangnya kesadaran dan pengaruh unsur-unsur kebudayaan luar (Goa dan Bima) yang masuk ke Manggarai, maka keyakinan itu sedikit demi sedikit memudar sampai disadari sebagai kepercayaan yang sia-sia (pengaruh masuknya agama-agama mondial). Kedua, kata-kata itu juga merupakan suatu petuah yang senantiasa diungkapkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa dan mandiri. Mereka selalu dinasehati untuk tidak melupakan "kuni agu kalo", kampung halaman, terutama orang tua dan sanak keluarga, kalau mereka sudah tinggal terpisah dari orang tua. Ketiga, ungkapan yang sama selalu memberi warna bagi cara menyampaikan sesuatu secara khas lewat bahasa-bahasa kiasan-alegoris.

Tradisi komunikasi adat di Manggarai merupakan semacam spiral yang berputar-putar dan berbelit-belit, tapi maksudnya yang sebenarnya hanya sedi­kit. Sekali pun secara rasional, penggunaan bahasa yang demikian sama sekali tidak efektif dalam komunikasi, tapi toh hal itu sudah dihidupi secara inheren. Tidak mengherankan jika ada kebiasaan orang-orang tua di pedesaan yang bila bertamu, pembi­caraannya akan memakan waktu berjam-jam. Tapi maksud yang sebe­narnya akan dia ungkapkan ketika si tamu hendak beranjak pulang.Misalnya ia datang untuk "meminjam barang tertentu" atau "mengajak tuan rumah untuk menghadiri suatu kegiatan tertentu", dll. Dengan demikian, terlihat bahwa ada sekian banyak interpre­tasi yang dapat kita berikan berhadapan dengan kiasan atau "go'et" yang dibahasakan secara halus (eufemistis).

Selain itu, dalam tradisi juga sudah ada pertanyaan menge­nai makna dan tujuan hidup bersama, yakni dambaan untuk hidup tentram, damai dan selaras dengan apa yang dihidupi oleh masyar­akat. Dalam hal kerja sama sosial, terdapat ungkapan "Reje le­leng, bantang cama (berembuk secara bersama dan laksanakan pula secara bersama, atau hidup saling membantu). Kata-kata ini mengekspresikan adanya nilai-nilai "kesalingan dalam kebersa­maan" dalam hal menyelesaikan tugas bersama, memenuhi kebutuhan hidup, termasuk bagaimana orang-orang berembuk dalam rencana menyelesaikan pekerjaan berat atau urusan masalah adat yang mengharuskan keterlibatan keluarga besar. Menurut orang Manggar­ai, oleh cara demikian, setiap manusia dalam satu masyarakat dapat melibatkan diri secara bertanggung jawab dalam mengusaha­kan hidup bersama yang sejahtera penuh kedamaian.

Dalam kerangka hidup bersama, pelukisan di atas tidak berarti Orang Manggarai mengabaikan personalitas. Seorang priba­di, menurut cara pandang mereka, memiliki tempat tertentu di dalam lingkup sosial. Walaupun secara tradisional pandangan-pandangan patriarkis dan diskriminatif masih ada. Misalnya ada perlakuan yang berbeda-beda terhadap pribadi-pribadi bergantung pada atribut yang melekat pada mereka. Dengan demikian sepintas terlihat bahwa perlakuan terhadap pribadi-pribadi sangat bergan­tung pada atribut-atribut atau status sosial yang melekat dalam diri orang itu. Sekalipun demikian, jati diri seseorang tetap ditonjolkan dalam kebersamaan. Orang Manggarai tetap berkeyaki­nan bahwa setiap orang memiliki kekhasan-kekhasan individual. Nama, misalnya, merupakan sesuatu yang sangat pribadi. Dalam banyak hal, nama merupakan simbol tunggal, hanya mewakili priba­di yang bersangkutan. Dan karena itu, pemberian nama semata-mata ditentukan menurut "selera" pemberi nama, tanpa ikatan marga. Hal ini menjadi alasan yang mungkin mengapa orang Manggarai "seolah-olah" diberi nama sesuka hati. Masing-masing anak dari orang tua yang sama diberi nama belakang yang berbeda-beda (bdk. Frans Borgias, 1990, hlm. 180-189).

Selain itu tradisi masyarakat sudah memiliki pandangan yang positif terhadap keberadaan seseorang. Manusia adalah ciptaan yang patut disyukuri dan dihargai. Sehubungan dengan itu, para orang tua tidak begitu saja larut dalam perasaan kecewa karena melahirkan anak-anak yang tidak sesuai dengan ideal mereka, bertingkah laku dan sikap anak yang berlawanan dengan harapan orang tua. Mereka tetap menaruh kasih pada anak-anak mereka. Sebuah penggalan syair lagu Manggarai klasik "Oe Inang, Oe Amang" berbunyi demikian: Am daatn'e, tama mangan'e; Am nenin'e, tama wekin'e (biar buruk rupanya, yang penting dia ada; biar kulitnya hitam yang penting ia berbadan). Dari penggalan lagu ini terlihat bahwa hormat terhadap keberadaan manusia merupakan suatu keharusan justru karena ia ada dan hadir di tengah masyar­akat (keluarga).

"Keunggualan hidup" pribadi mendapat tempat yang positif dan senantiasa diperjuangkan sebagai satu ideal. Setiap anak oleh orang tuanya dinasehati untuk memiliki persiapan bagi masa depan yang baik. Secara parabolis dikatakan agar seseorang senantiasa hidup seperti pohon yang kokoh: "Wake caler ngger wa, saung bembang ngger eta." (Berakar kuat ke dalam tanah, dan berdaun rimbun). Ini mengisyaratkan suatu perjuangan hidup yang sungguh-sungguh. Kesungguhan itu harus tampak dalam kematangan sikap hidup, pola pikir dan tutur kata, juga memiliki rasa tanggung jawab baik secara horisontal maupun vertikal.

Sketsa Mengenai Cara Mengenal yang Abstrak

Dari kuliah epistemologi, kita memahami abstraksi sebagai aktivitas budi manusia yang normal di mana kesadaran manusia mampu menarik citra dari suatu objek sekalipun objek itu secara real tidak hadir di hadapan si subjek. Kesanggupan itu rupanya sudah dikenal dalam tradisi hidup Orang Manggarai. Hal itu terlihat misalnya dari cara mereka membahasakan realitas semes­ta. Di sana secara sederhana sudah ada kesanggupan yang melekat dalam diri oarang tua-tua zaman lampau untuk menarik pemahaman sederhana dari benda-benda yang dilihatnya. Hal paling mencolok di sini biasanya tampak dalam gaya pengungkapan yang kaya dengan personifikasi-personifikasi, termasuk juga kiasan-kissan parabo­lis tertentu yang mencoba menarik garis penghubung yang melukis­kan kedekatan makhluk manusia dengan makhluk-makhluk dan reali­tas alam sekitarnya.

Dalam kaitannya dengan usaha menjadi manu­sia ideal, orang tua-tua menggunakan kiasan berikut: "lankas haeng ntala; agu uwa haeng wulang (agar tinggi menggapai bintang dan bertumbuh menggapai bulan). Kata-kata ini dapat ditafsirkan sebagai suatu dorongan kepada anak-anak dan generasi muda untuk memupuk diri menjadi manusia ideal. Sebab itu, meskipun seseor­ang tidak melihat suatu benda pada saat tertentu, dia bisa memiliki pengertian tentang benda itu. "Teu ca ambo neka woleng jangkong, muku ce puu neka woleng curup" (Tebu serumpun jangan beda bicara, pisang sepohon janganlah berbeda tutur kata). Ungkapan itu menyiratkan personifikasi di mana benda-benda yang disebutkan tidak hadir secara real atau dilukiskan seperti manusia. Namun demikian biasanya konteksnya bisa dipahami.

Barangkali abstraksi sederhana inilah yang melatar belakan­gi mengapa maysarakat adat di Manggarai kaya dengan pengungkapan lisan yang berasal dari rentetan bunyi kata yang homofon yang disebut "go'et". Go'et sepintas kedengaran klise, tapi bila dipakai dalam ritus adat, maka go'et menjadi kata-kata manjur dengan pelbagai nuansa. Ia bisa menjadi sebuah lambang kesopanan serentak mengandung sindiran tidak langsung untuk lawan bicara. Tidak semua orang awam mampu menggunakan bahasa go'et secara baik. Go'et sering dipakai oleh sesepuh kampung (tu'a golo) atau oleh pembicara yang mewakili masing-masing keluarga mempelai pada upacara masuk minta (pongo wina) atau pada momen kesepakatan nikah atau tukar cincin secara adat (rekak agu tukar kila).

Catatan Akhir

Di samping hal-hal positif di atas, kerapkali terjadi bahwa apa yang diungkapkan dengan bahasa halus (segol), seperti kebia­saan orang-orang di desa-desa, berbanding terbalik dengan kenyataan yang bakal berjalan. Maka dalam hal memahami alam pikiran Orang Manggarai, "kebingungan" yang ditimbulkan oleh sikap dan tutur katanya dapat menjerat orang kepada misinterpretasi. Artinya, di satu sisi, dengan membahasakan sesuatu secara terba­lik, orang Manggarai langsung memahami pesan yang mau disampai­kan, yakni mengacu kepada etika sopan-santun terhadap lawan bicara. Akan tetapi di sisi lain, untuk orang yang tidak mengen­al baik kekhasan cara berpikir/sikap tersebut, maka hal itu justru menimbulkan salah paham. Satu ilustrasi kecil. Pengalaman awal seorang Pastor asal "Lamaholot" (Flores Timur) yang berkar­ya di pedalaman Manggarai. Mula-mula ia merasa sangat bingung dengan kebiasaan bertingkah laku dan gaya berbicara umatnya. Setiap kali ia mengatakan "begini" atau "begitu", maka umat (lawan bicaranya) selalu mengangguk dalam sambil mengatakan "io" (artinya ya). "Jika mereka diminta atau diperintahkan membuat sesuatu," demikian cerita sang pastor, "saya selalu mendapatkan jawaban "io" dengan anggukan mendalam. Tapi kenyataan setelahn­ya? "Sekian sering", cerita Pastor, "mereka tidak berbuat sesua­tu apa pun dari jawaban io mereka." Mengapa demikian? Pertanyaan sang Pastor sekali lagi menarik kita untuk melihat latar bela­kang hidup dan kebiasaan yang inheren pada setiap lapisan ma­syarakat Manggarai.

Bahwasannya, Orang Manggarai (orang-orang sederhana, yang ikatan adat mitis-magisnya masih kental) tidak mungkin mengatakan "tidak mau" atau "tidak suka" (toek, toe gori'g, toe ngoeng'g) kepada seseorang yang ia hormati, walaupun apa yang diminta orang itu daripadanya tidak sanggup ia lakukan atau bertetangan dengan pandangan atau pendapatnya. Bila ditelu­suri lebih dalam, maka ada satu hipotesa menarik yang kiranya mendekati objektif. Hipotesa dari catatan sejarah Paul Coolhas, sebagaimana ditulis oleh J. Verhejen SVD, bahwa secara bergan­tian, Manggarai takluk kepada Kerajaan Goa (Sulawesi Selatan) dan Bima (Sumbawa). Pada tahun 1661, untuk pertama kalinya, Manggarai tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Bima.

Sebagai kerajaan taklukan, maka raja Manggarai wajib membayar upeti kepada penakluknya. Demikian pula yang dilakukan terhadap pen­guasa dari Kerajaan Goa (bdk. F.Pantur, VOX 1994, hlm. 106-107). Sejak saat itu, sikap dan pola pandang orang manggarai adalah sikap dan pola pandang hamba terhadap tuannya. Sebagai hamba ia wajib untuk selalu mengatakan "io" kepada tuannya. Jika tidak demikian maka ia mungkin dihukum atau dibunuh.

Demikianlah sepintas refleksi penulis sehubungan dengan alam pikiran antropologis Orang Manggarai. Sepenuhnya penulis sadari, banyak aspek yang sama sekali tidak disinggung bila dibandingkan dengan luasnya ruang lingkup etnis, adat-istiadat orang Manggarai. Hal ini kiranya dapat dimaklumi oleh karena begitu terbatasnya referensi yang dimiliki penulis.

Apa yang tertuang dalam pikiran sederhana ini, lebih banyak merupakan hasil pengamatan sepintas dari penulis sendiri (selaku orang Manggarai) yang juga turut serta merasakan dan menghidupi adat-istiadat khas Manggarai. Pembahasan dan ekspresi literer ini memang sengaja dimodifikasi sekian sekedar untuk menonjolkan betapa pentingnya penelitian dan pengkajian sosio-antropologis dan kultural yang lebih mendalam akan khasanah hidup yang begitu kaya dari masyarakat adat kita. Akhirnya, penulis berharap tulisan ini berguna, sekurang-kurangnya menjadi ajang kebangki­tan kesadaran orang Manggarai untuk mengemukakan kritik atas tulisan ini.

Minggu, 05 April 2009

Mencoba Lagi Menjadi Orang Manggarai

Menyebut Manggarai mengingatkan kita akan aroma kopi Manggarai yang tersohor.

Kopi merupakan produk unggulan dari daerah ini yang utamanya dihasilkan dari kawasan adat Colol, Kecamatan Poco Ranaka.

Kopi telah mencuatkan daerah ini sejak tahun 1937. Kopi dikembangkan pertama kali di Colol pada sekitar tahun 1920. Tak heran jika pada tahun 1937 para petani memperoleh penghargaan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemenang “Pertandingan Keboen Kopi Arabika”.

Di Negeri Merdeka Mereka Teraniaya

Brutalisme aparat negara atas petani dan masyarakat adat Indonesia kembali terjadi di bumi Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 10 Maret 2004. Aksi damai sekitar 120 orang petani Colol-Poco Ranaka dihadapi dengan represif aparat polisi. 6 orang[1] petani harus tewas, 28 orang luka tembak peluru tajam, serta puluhan lainnya babak belur dan sisanya ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai.

Peristiwa ini bukan yang pertama kalinya. Bukan pula peristiwa yang berdiri sendiri dan terjadi secara tiba-tiba. Tim Advokasi untuk Rakyat Manggarai (TARM) mencatat bahwa tindakan biadab dan pelanggaran Hak Asasi Manusia ini bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2002 Bupati Manggarai Antony Bagul Dagur melalui Surat Instruksi Nomor: DK.522.11/1134/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002, telah menginstruksikan untuk melakukan operasi gabungan di kawasan Register Tata Kehutanan (RTK) 111 Meler-Kuwus sejak Oktober 2002-Oktober 2003, dengan melibatkan aparat Mapolres Manggarai, Kodim 1612/Ruteng, Polisi Kehutanan, Polisi Pamong Praja, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Kejaksaan Negeri Ruteng aparat Kecamatan terkait termasuk preman bayaran,.

Operasi digelar dengan cara memusnahkan semua tanaman produktif milik petani (utamanya kopi), serta menangkap serta menyiksa para petani dan masyarakat adat. Dalam operasi ini di kawasan RTK 111 ini, 20 orang petani ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai. Selanjutnya, operasi penangkapan petani pertama dilakukan pada tanggal 14-15 Mei 2003 di kawasan eks tanah erpacht Reo di kawasan Gendang (kampung) Mahima. 71 orang petani terdiri dari 56 laki-laki dan 15 orang perempuan ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai.

Belum puas dengan 91 orang petani yang sudah ditangkap, pada 29-30 Juni 2003 sejumlah 29 orang petani dari kampung Salama, Reok ditangkap lalu ditahan. Operasi pembabatan tanaman kopi dan tanaman produktif lainnya terus berlangsung di wilayah RTK 118 Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng di kawasan Colol, Kecamatan Poco Ranaka hingga Oktober-Desember 2003. Perlawanan komunitas adat Colol yang dilakukan secara damai mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya terus dihadapi dengan tindak kekerasan dan operasi penangkapan. Teror, kekerasan dan penjarahan hasil-hasil pertanian petani, turut menjadi catatan penting dalam gelar operasi yang oleh Tim Terpadu ditargetkan akan dilakukan pada wilayah seluas 86.556.93 ha.

Disamping itu pada tanggal 9 Maret 2004, 7 orang petani terdiri dari 4 orang perempuan dan 3 orang laki-laki ditangkap saat berladang di kawasan Desa Rendenao oleh satuan Tim Terpadu yang dipimpin langsung oleh Bupati Antony Bagul Dagur, kemudian para petani diserahkan pada polisi untuk ditahan di Mapolres Manggarai.

Alasan Bupati Manggarai dan aparat terkait, seluruh operasi dilaksanakan untuk mengamankan kawasan hutan lindung yang didasarkan pada:

a. Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan;

b. Perjanjian kerjasama antara Departemen Kehutanan, POLRI dan TNI Nomor: 09/Dj-IV/LH/2002 Tentang Penyelenggaraan Operasi Pengamanan Hutan, Kawasan dan Hasil-hasil Hutan;

c. SK Gubernur NTT No.64/1996 Tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Propinsi NTT;

d. SK Bupati Nomor: Pb.188.45/27/VI/2002 tentang Pembentukan Tim Terpadu Tingkat Kabupaten Manggarai dalam Rangka Penertiban dan Pengamanan Hutan Manggarai.

Dampak Operasi

Ratusan kepala keluarga (KK) petani dan masyarakat adat harus terusir dari tanah leluhurnya, serta terancam kemiskinan struktural akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan mereka. Tak kurang dari 154 orang petani telah ditahan dan dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Ruteng—dalam gelar operasi tanpa kemanusiaan ini. Ribuan anak-anak petani harus rela putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk menikmati masa depan dan suasana hidup yang damai dan berkeadilan. Mereka semua terancam kelaparan massal. Kebanggaan mereka untuk menjadi Orang Manggarai--dengan kopi-nya yang terkenal serta kedalaman tradisi nenek moyang yang terjaga turun temurun--pupus sudah. Luluh-lantah demi kepentingan sang penguasa yang lalim.

Sebuah potret buram dari penerapan kebijakan agraria dan sumberdaya alam yang lagi-lagi masih tidak memihak kepentingan rakyat (kaum tani dan masyarakat adat). Operasi kehutanan di era otonomi daerah yang masih saja mengatasnamakan kepentingan konservasi—namun menistakan kuasa Rakyat!

Kondisi Saat Ini

Orang Manggarai—para korban operasi—saat ini terus berjuang merebut dan mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya melalui wadah Serikat Petani Manggarai (SPM). Organisasi Rakyat Kaum Tani dan Masyarakat Adat yang dideklarasikan pada Hari Tani 24 September 2004 di Ruteng, oleh 35 komunitas adat dan organisasi tani lokal. Tekad mereka sudah bulat. Ketidakadilan ini harus dilawan.

Mereka, mencoba lagi menatap masa depan negerinya dengan ungkapan bahasa sederhana:

…mencoba (lagi) menjadi Orang Manggarai…

Yang terlupakan Didaerah Manggarai

Kebudayaan (kalau dilihat dari atas perbukitan) adalah sebuah cita rasa estetika. Mungkin terwujud secara tak sengaja melalui keseharian masyarakat pendukungnya. Contohnya seperti Sawah Lodok di Cancar Manggarai sebagaimana tampak di photo ini.
photo by Flores Out-door
Kadangkala disebut juga dengan istilah Sawah Lingko atau Sawah Ulayat. Hanya ada di Cancar ruteng Manggarai, NTT, lho...mungkin kagak ade di Chine. Kira - kira kalau dari Ruteng memakan waktu setengah jam perjalanan naik oto.

Jangan lupa naik kendaraan yang ada jendelanya. Supaya Anda dapat membuang pandang pandang ke lembah - lembah yang terhampar luas di sepanjang jalan.Di situlah kita melihat paduan antara keajaiban alam dan keajaiban citarasa manusia yang sesungguhnya. Sawah - sawah mengapung hijau serupa jaring laba - laba raksasa yang setiap sudutnya diikatkan ke dinding perbukitan. Ada kabut tipis yang sesekali menggelusur jatuh, juga dari perbukitan.
Orang menamainya Sawah Lodok. Dinamai sesuai dengan salah satu cara pembagian tanah ulayat dalam komunitas adat Manggarai, NTT. Konon, dari bentuk artistik persawahan itu tercermin betapa kuatnya hubungan kekerabatan masyarakat Cancar. Menurut sebuah sumber Lodok adalah penyebutan lokal untuk sistem pembagian tanah ulayatnya. Tanah-tanah adat yang disebut lingko dibagi kepada warga dengan sistem lodok. Yakni cara membagi lingko yang dimulai dari teno di pusat lingko. Kemudian menarik garis lurus (jari-jari) hingga batas terluar tanah lingko tersebut sebagai batas (langang).
Proses pembagian sebagai berikut: di pusat lingko ditanam sebatang kayu yang disebut “teno”.Dinamakan teno karena sepotong tiang itu diambil dari sejenis pohon yang dinamakan haju teno.(pohon teno). Teno merupakan pusat lingkaran tanah lingko yang selanjutnya disebut sebagai lodok (titi pusat) Dari teno ditarik garis batas yang disebut langang (batas tanah) sampai ke batas terluar tanah lingko yang disebut “cicing”. (lodokn one cicingn pe’ang).
Berapa besar ukuran besaran tanah di lodok (pusat lingko)? Masyarakat Manggarai membaginya berdasarkan “moso” (satu jari tangan) sebagai dasar pembagian awal. Besaran mosopun sangat relatip, tergantung pada berapa jumlah warga yang akan menerima pembagian di lingko bersangkutan. Makin banyak yang akan menerima, makin kecil ukuran moso, demikian pula sebaliknya makin sedikit jumlah penerima, makin besar ukuran moso. Berapa moso dibagikan kepada setiap orang juga bergantung pada kedudukan orang dalam beo (kampung). Maka dikenal istilah moso biasa (satu jari), moso kina (satu setengah jari) dan moso wase (tiga jari). Warga yang dianggap sebagai pemimpin (tu’a beo / golo) atau tuan tanah (tua teno) biasanya mendapat moso wase (tiga jari) yang merupakan ukuran paling besar. Sedangkan warga lainnya akan menerima moso biasa (satu jari) atau moso kina (satu setengah jari).
Hasilnya adalah suatu contur estetika seperti dalam photo ini.

photo by adventure travel

Mengagumkan bukan? Kalau bukan seperti jaring laba - laba, bentuk ini mengingatkan kita pada sebuah kubah yang terbalik. Mungkin di zaman dahulu kala sekali ada sebuah kubah yang terjatuh dari surga dan jatuhnya tepat di bumi Manggarai kali ya...

Lembor - Labuan Bajo
Manggarai memang dikenal sebagai lumbung berasnya NTT. Khusunya Lembor. Kalau di Cancar (yang lokasinya agak masuk ke selatan dari jalan utama Ruteng - Labuan Bajo) kita menemukan keunikan kultur agraris yang masih terpelihara, di kecamatan Lembor kita dapat melihat betapa suburnya NTT. Dari sinilah kebutuhan beras penduduk disuplay sepanjang waktu.Sebagian besar daerahnya adalah dataran luas persawahan yang di lingkari gugusan perbukitan di kejauhan. Luas sekali terlihat.
Ke sana, ke bukit - bukit di kejauhan itulah oto yang menuju labuan Bajo terus bergerak. Apabila sudah terasa jalan mulai mendaki, siapkanlah diri Anda. Jalan makin sempit ke arah Labuan Bajo, aspalnya sudah banyak yang rusak. Kalau sudah begini, siapkan pula lah diri Anda untuk memaki - maki pemerintah dalam hati karena infrastruktur jalan dan transportasi umum yang buruk (dan ini terjadi hampir di seluruh propinsi NTT). Sangat tak sebanding dengan karunia alam yang diberikan kepada Manggarai ini.
Sekali lagi, silahkan menyumpahi pembangunan yang lalai. Sumpah serapah kita tak kan didengar orang kalau di dalam oto. Sebab biasanya ada musik dipasang keras - keras toh. Apalagi sopir oto Ruteng - Labuan Bajo itu biasanya lulusan STM alias Sopir Timor Modifikasi. Dibentuk oleh campuran kultur santri katolik, budaya lokal, budaya indonesia modern dan pengaruh tuak sedikit hehhehe... .... Jadi sudah pasti suka musik dan suka gila-gilaan di jalan sempit yang di sisinya ada jurang - jurang dalam. Mana sempat memperhatikan kita hehehe. Namun tentu saja pengalaman seperti ini hanya terjadi kalau kita naik bis umum.
Kalau menaiki mobil travel tentu lain lagi ceritanya ya. Flores secara umum ditempati oleh masyarakat yang ramah dan penuh toleransi, fair dan karena itu siapapun yang mengunjungi wilayah ini dijamin merasa aman. Seaman perasaan kita menyaksikan panorama luar biasa saat oto menuruni jalan perbukitan ke arah Labuan Bajo menjelang senja.
Ada gugusan bukit yang berlapis - lapis hingga ke bawah sana. Punggung pulau - pulau yang warnanya berubah jingga karena disepuh lembayung senja. sampai di sini, cobalah mengheningkan pikiran. Rasanya kita sedang berada di garis batas alam nyata dan alam gaib. Matahari yang meninggalkan cahayanya di balik gugusan pulau pulau jauh itu bagaikan sebuah pintu gerbang ke alam lain. sedang oto terus melaju mendekatnya.
Tak lama kita saksikan hal seperti itu. Karena hari segera malam dan malam segera menjemput subuh. Pada saat itulah kita selalu ingin melihat Labuan Bajo. Seekor elang putih melayang ringan ke pucuk menara kapal. Hinggap di sana dan matanya yang tajam memandang ke dasar laut yang jernih, perahu - perahu nelayan, gugusan pulau berpasir halus. Sedang ke seberang sana, laut yang tenang dan jernih itu terus mengalun riak dan cahya. Laut yang sepertinya tak ingin menyembunyikan apa - apa yang ada di dasarnya...


Kota komba,Manggarai Timur

Kecamatan Kota Komba iku salah sijining kecamatan neng Kabupaten Manggarai provinsi Nusa Tenggara Timur. WOLOMBORO- DESA BAMO KEC.KOTA KOMBA-FLORES KABUPATEN MANGGARAI TIMUR. Wolomboro adalah Nama dari sebuah kampung yang ada di Desa Bamo-Kec.Kota Komba-Flores Barat Kabupaten Manggarai Timur-Indonesia.Yang masih banyak menyimpan sejarah Budaya atau Adat Traditional bahkan sampai saat ini kita masih dapat menyaksikan Atraksi-atraksi Budayanya. Wolomboro Tetangga kampung Wokopau yang sangat mengalami kekurangan atau sumber daya hidup masyarakatnya masih sangat terbelakang, kemiskinan terdampak jelas di kampung ini. Walaupun mereka begitu susah hidupnya tapi banyak menyimpan sejarah Budaya di Manggarai Timur. Kampung yang pusatnya Atraksi Traditional seperti ; Caci Dance- Danding atau Tandak- Fera Dance- Mbata ( pemukulan tambur dan gong ) Serta pembuatan Perlengkapan alat-alat dapur dari Tanah Merah yang terkandung di gora kampung ini dengan menggunakan peralatan yang sangat sederahana atau traditional.

DANDING ( TANDAK ) ;

Danding adalah Sebuah Tarian serta Nyayian dalam bentuk Pantun dari kelompok Pria, dan kelompok Wanita yang menjawabnya ataupun sebaliknya. Lagu atau Danding ini sebuah tanya jawab apa yang terjadi di bumi ini dalam kehidupan sehari-harinya. Pelaksanaannya pada malam hari, dimana peserta Tandak membentuk sebuah linggkaran dan saling berpegangan pundak atau berpelukan dan berjalan sambil mengangkat kaki dan menghentakan kaki ke tanah yang di ketuai oleh seorang yang namanya;Kepala Nggejang dari bahasa daerah setempat atau pemberi Irama gerakan dari lagu atau nyanyian tersebut dan berdiri di tengah lingkaran dengan membunyikan alat Giring-giring dari bahan besi atau perak campur perunggu.

Tarian ini bertujuan agar Pemuda dan Pemudi saling mempunyai kesempatan untuk saling berpandangan dan kadang-kadang berakhir dengan jatuh cinta. Intinya Tarian ini dibuat sebagai tempat pertemuan antara Pemuda dan Pemudi dari berlainan kampung pada malam hari. Pada saat acara ini berlangsung semua bebas memilih pasangan dan tidak ada yang melarangnya selama pertemuan pemuda-pemudi berjalan aman,asal jangan melakukan pemerkosaan. Banyak Wanita yang lari ikut Pria pada acara ini dan bersatu menjadi Suami Istri jika keluarganya merestui pernikahan anaknya. Ada juga yang tidak, jika masih ada hubungan keluarga atau sejarah nenek moyangnya sama. Dan yang hadir pada acara ini dari Anak kecil sampai orang dewasa dari beberapa kecamatan yang ada di manggarai timur. Acara ini diadakan setiap selesai panen yaitu pada bulan Juli-oktober setiap tahunnya.

FERA DANCE ( TARI FERA ) :

FERA adalah sebuah Tarian yang sangat Tua dari beberapa abad yang lalu, yang pelaksanaannya bisa pada malam hari ataupun pada siang hari di bulan yang sama. Jenis Tarian seperti ini cuman ada di kampung Wolomboro yaitu tetangga kampung wokopau dan banyak diminati oleh wanita yang telah bersuami, saling berpegangan tangan dan membentuk baris memanjang, bernyanyi sambil menari dengan memgangkat kaki satu sebatas pinggang. Dan yang Pria membentuk barisan sendiri dengan irama yang sama dan lagunya’pun menceritakan tentang nenek moyang yang telah lama meninggal atau cerita-cerita pada zaman dahulu kala dalam bahasa Rongga atau bahasa daerah setempat.

Gerakannya sangat jauh berbeda dengan Tari Tandak, Fera tidak terlalu memakan energi sedangkan Tandak membutuhkan energi yang banyak. Begitu pula dalam menyanyikan sebuah lagu, kedengarannya lebih merdu dan bersahaja jika dibandingkan dgn lagu atau nyanyian tandak. Tradisi ini hanya dilaksanakan jika ada peringatan kematian Nenek atau orang-orang yang di anggap sabagai ketua Adat pada masa kejayaannya. Kampung-kampung yang memiliki Tradisi FERA di Manggarai timur yaitu; Kampung Wolomboro,Kampung Bamo atau Mbero, Kampung Pandoa, Kampung Sere dekat Kisol dan Kampung Nangarawa. Selain kampung yang ada diatas tidak ada yang melakukan tarian Fera, tapi pada umumnya Masyarakat yang tinggal di lingkungan manggarai atau Flores barat mengenal jenis Tarian ini.

CACI DANCE ( TARI CACI ) :

Pertandingan Caci biasanya dibuka dengan Kelong atau Nyanyian Adat dari yang menseponsori acara Tari Caci, bisa dari kelompok setempat ataupun dari luar lingkungan kampung wolomboro, lalu di ikuti dengan Tandak atau Danding oleh kelompok tersebut. Lagu atau Nyanyian Kelong tidak boleh di nyanyikan di sembarang tempat, karena nyanyian ini bertujuan untuk memanggil arwah-arwah orang yang telah meninggal dunia atau nenek moyang yang telah lama meninggal untuk hadir bersama dalam menyaksikan atraksi Caci yang akan dilaksanakan.

Dan jika "Kelong"atau lagu Adat ini telah di nyanyikan oleh kelompok tertentu maka tari Caci pada hari itu harus dilaksanakan atau jadi terlaksana. Sebelum diadakan Kelong tidak boleh melakukan pertandingan Caci. Sebelum beradu dilakukan pemanasan dengan menari yang diiringi gong dan tambur sambil menyanyikan lagu manggarai. Untuk memanas-manasi keadaan lawan para penari ini berjalan sambil menari mengelilingi lingkaran arena pertandingan bila perlu saling menantang.

CACI dimiliki oleh seluruh kampung di Manggarai Flores Barat, biasa dilaksanakan setelah memungut hasil dari ladang kering ataupun sawah setiap tahunnya pada bulan juli sampai oktober dan di laksanakan pada siang hari oleh dua kelompok masing-masing tiga pasang atau lebih, tergantung dari luasnya arena pertunjukan. Dimana acara pemukulan'nya dgn sebuah Larik atau pecut satu lawan satu dari kelompaknya masing-masing. Dengan ketentuan memukul sebatas pinggang sampai di bagian kepala.

Dengan Asesoris di kepala yang begitu indah, biasanya memakai "Pangga"dalam bahasa daerah setempat. Yaitu sebuah Asesories yang dibuat dari kulit kerbau berbentuk sebuah tanduk lalu dibalut dengan kain sampai membentuk seperti tanduk kerbau, dan di tengah tanduk ada asesories membentuk ekor kuda ini pertanda bahwa mereka perkasa seperti seekor kerbau atau seekor kuda jantan. Tubuh harus dalam keadaan telanjang,dan dari pinggang kebawah dikenakan Sarung Songket Manggarai dengan segala Asesories lainnya termasuk Giring-giring yang digantungkan dibelakang pinggangnya agar pada saat menari dapat mengeluarkan irama atau nada yang merdu didengar dalam mengikuti irama gong yang dibunyikan oleh kelompoknya.

Biasanya pembuka pukulan dari Toko-toko Adat yang seponsor acara Caci ini, dan dari kelompok pendatang atau dari luar daerah setempat yang menadahnya atau menangkis. Masing-masing pemain harus melihat siapa penantangnya, karena kalau masih ada hubungan darah atau keluarga tidak boleh melakukan pengaduan atau pemukulan. Kecuali sebatas teman atara kampung. Para pemain dalam mengadu ketangkasan dan keluwesan dalam menangkis pukulan lawan bisa dimulai dengan bertindak sebagai pemukul dan pada kesempatan lain sebagai penangkis. Dan juga tidak ada keharusan untuk menadah pukulan lawan setelah kita memukulnya, bisa di ganti dengan pemain yang lain.

Mbete,Larik atau pecut yang dibuat dari kulit kerbau yang kering ini jika mengenai badan bisa menimbulkan luka. Sebab kalau di kampung Wolomboro ini, di ujung Pecut'nya di pasang sebatang Lidi dari pohon Nira atau pohon tuak bahasa setempat. Ini bertujuan agar sebelum melakukan pemukulan para pemain membunyikan pecut tersebut seperti suara sebuah bom yang meledak ( ini juga salasatu cara untuk memanasi lawanya ) dan jika lidi dari tuak ini mengenai badan langsung mengeluarkan darah atau luka.

Para penonton pun harus membuka mata karena kadang-kadang lidi ini putus dalam saat melakukan pukulan dan mencar'nya ke penonton.( penonton bisa membawa luka tanpa bermain caci ) Dengan lincah si penyerang mengayunkan pecutnya ke tubuh lawan, sementara si penangkis berupaya menghalangai sabetan pecut dengan sebuah Tameng atau perisai dari kulit kerbau dan sebuah tereng yang terbuat dari sebatang bambu kering yang ukurannya 2 -3 meter.Tapi yang pakar'nya dalam bermain caci bisa menadanya dengan sebuah tempurung kelapa sebagai tameng dan sepotong kayu yang ukuran 1meter sebagai terengnya. jika pukulannya kena membuktikan bahwa penyerang berhasil mengalahkan lawanya. Dan jika megenai wajah bahasa setempatnya bilang "Beke" harus diganti dengan posisi orang lain dan ini pertanda pembawa sial dalam kelompoknya dan malu karena kalah dalam pertandingan ini.Tapi semua pemain caci sudah siap menerima resiko sehingga para pemain harus mahir memukul dan memblokade pukulan lawan.

Setelah pukulan berakhir si penada ini mengeluarkan suara atau Paci. Paci adalah bahasa kiasan yang mengartikan kehebatan seseorang. Contoh paci menyebutkan sebuah benda seperti Jangkar/Anker/Saul. jika Anker ini sudah tersangkut di batu karang ,perahu yang membuang Anker ini tak mungkin bisa berjalan atau hanyut terbawa arus. Jika ada orang yang mengeluarkan Paci jenis ini pertanda bahwa dia paling hebat dalam permainan Caci.

Lalu ada lagi bahasa setelah Paci, yaitu bertanya kepada penonton apakah permainan saya cantik atau tidak? Apakah anda melihat pukulan tadi kena atau tidak? Dan penonton menjawabnya dengan versi suport "Cantik dan tidak kena".Di dalam Bahasa daerahnya ; "Oe...Ema O....!!!! Hena ko toe...? pass pasang daku ema..?Kelompoknya menjawab:"Oeeeee.....!Passss Anak......!

selanjutnya Danding atau Tandak atau menyanyikan lagu daerah manggarai. Pada saat Menyanyikan lagu atau paci,tameng dan tereng tidak boleh lepas dari tangannya,dia harus memberikan tameng ini kepada lawannya dalam posisi badan menunduk atau jongkok tanda penghormatan,begitupun yang menerimanya. Mahir memukul lawan,trampil menangkis serangan,sportifitas tinggi,bisa mengendalikan diri dalam arti walaupun terluka wajib memberi hormat kepada lawannya. Indah menarinya dan merdu menyanyikan lagu daerah adalah salasatu persyaratan dalam pertandingan Caci ini sehingga para penonton sangat terhibur.

Tidak boleh ada yang menyimpan rasa dendam dalam pertandingan ini dan setelah pertandingan usai para pemain saling berjabatan tangan dan memaafkanya. Caci dimulai dari jam 08.00am sampai jam 06.00pm dan ditutupi dengan membuang selembar Tikar dari daun pandan ke tengah lapangan pertandingan, ini pertanda bahwa Caci telah selesai dan para pemain harus berhenti melakukan pemukulan dan masing-masing kelompok semua bubar. Kadang-kadang malamnya dilanjutkan dengan acara Danding atau Tandak, itupun jika yang punya acara dan para Ketua Adat merestuinya.

MBATA ( PEMUKULAN TAMBUR DAN GONG ) :

Kehidupan orang-orang dikampung ini sangat sederahana dan masih berpegang teguh pada Adat. Sehingga selalu ada yang mengadakan pesta Adat setiap tahunnya. Ritual terbesar yang diadakan di kampung wolomboro yaitu acara peringatan kematian Nenek Moyang, dimana seluruh Masyarakat dari kampung; Pandoa,Bamo,Mbero,Sere,Watu nggong,Nanga Rawa,Wolobaga,wae Soke,Wae Kutung dan Wokopau, semua berkumpul dalam satu rumah adat dan masing-masing suku atau kilo/clan membawah hewan kurban.

Pada acara ini mengorbankan hewan yang banyak, dan pada malam hari diadakan "Mbata"Acara pemukulan Tambur dan gong dengan menyanyikan lagu-lagu Traditional sepanjang malam, dengan tujuan memohon restu kepada semua makhluk penjaga tanah agar acara pemotongan hewan dan memberi makanan kepada nenek moyangnya dapat berjalan mulus tanpa ada halangan atau percecokan antar suku.

Menurut kepercayaan dari kampung ini, pada saat Tambur dan Gong dibunyikan pada malam hari, semua arwah orang yang telah meninggal dunia mendengar, datang dan hadir pada palam itu. Sehingga pada saat pemukulan Tambur memiliki dua irama; Mbata dan Tete ndere. Mbata irama pukulannya pelan dengan menggunakan telapak tangan di iringi dengan nyanyian yang lamabat juga, sedangkan Tetendere iramanya cepat sebagai tanda kebahagiaan tanpa nyanyian dengan menggunakan stick atau kayu khusus yg dibuatnya untuk memukul tambur.Di Kampung ini Tambur dibuat dari Kulit Kambing atau kulit Sapi yang sudah kering.

PERLENGKAPAN ALAT DAPUR DARI TANAH MERAH ;

Di Wokopau,Wolomboro dan Wae Soke adalah tempat pembuatan Periuk dari Tanah Merah. Dari semua jenis perlengkapan dapur dibuatnya .Membuatnya pun sangat Traditional yaitu menggunakan batu sebagai palu, air dan daun pisang sebagai pembungkus tanah beralaskan selembar papan sebagai dasar penyimpan tanah yang mau di peram. Proses pembuatan sebuah periuk yang bagus membutuhkan waktu dua bulan. Awal dari prosesnya sebagai berikut; Tanah di Gali dengan memakai linggis yang terbuat dari kayu, dan di bungkus dengan daun pisang, lalu di peram selama dua minggu. Dalam proses pemeraman tanah ini harus di siram setiap pagi sore. Tanah ini di giling memakai kaki atau tangan dan di peram lagi selama dua malam lalu proses pembuatan periuk,mangkok,senduk,gelas dll.

Setelah membentuk sebuah periuk dibilas lagi memakai air dan secabik kain untuk memperhalus bentuk dari sebuah periuk dan di jemur satu atau dua minggu lamanya di Matahari. Dalam proses penjemuran juga harus di jaga jangan sampai ada yang retak atau goresan dari binatang peliharaan. Jika ada yang retak atau ada goresan harus cepat-cepat di bilasnya dengan secabik kain basah jika masih mungkin untuk dibilas,sebab kalau tanahnya sudah mengering sedikit susah untuk membilasnya. Setelah benar-benar kering lalu dibakar dengan memakai bambu kering atau pelepah kelapa kering sampai benar-benar mengeluarkan warna merah dan mengeluarkan bunyi yang nyaring jika menyentuhnya dengan jari tangan kita.

Adapun larangan-larangan pada saat mengambil Tanah ini yaitu; Menggalinnya tidak boleh memakai alat jenis besi, Pada saat menggali tidak boleh mengeluarkan angin melalui anus(Kentut), tidak boleh batuk, dan tidak bole berbicara kotor jika ada teman di samping kita dan membawahnya pun harus memakai bakul atau keranjang dari jenis daun-daunan.

Mengapa peraturan ini dibuat supaya pada proses pembuatannya nanti tidak ada yang retak atau pecah. Kalau ada yang tidak mengikuti peraturan diatas maka sia-sialah dalam pembuatannya akan pecah atau tidak jadi sama sekali. Nilai penjualan dari sebuah periuk tanah ini tidak sebanding dengan tenaga atau waktu dari sipembuat. Per buah kira-kira mencapai 5000 rupiah tergantung jenis dan ukurannya.

Adapun keuntungan jika kita memasak dari periuk tanah ini yaitu; Jika menanak nasi menimbulkan rasa gurih atau mengeluarkan bau harum yang sangat natural dari jenis beras atau jagung tersebut dan tidak menimbulkan hangus atau berbentuk kerak. Begitupun jika memasak sayur.

Masih banyak Masyarakat di kampung yang sampai saat ini menggunakan Alat Traditional diatas. Jika ada orang yang menarik dengan pembuatan periuk dari Tanah Merah yang seperti di atas, bisa saja langsung mengunjungi kampung tersebut dan yang menarik dengan Traditional Dancing harus menunggu waktu acara dibuatnya.

Minggu, 08 Maret 2009

Nenek Moyang Danau Ranamese dan Ritual Penti

GOLORENTUNG

Bagi masyarakat Desa Gololoni, terutama Kampung Lerang, di Dusun Ajang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ritual penti atau syukuran tahunan tak pernah mereka lewatkan. Acara ini biasanya dilangsungkan di Kampung Lerang.

Kepercayaan itu mereka pegang teguh hingga saat ini, bahkan mereka tak berani mengabaikannya. Jika lalai, menurut keyakinan mereka, dampaknya terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti hasil panen yang mengecewakan.

Desa Gololoni dihuni oleh 536 keluarga atau 2.536 jiwa. Penghasilan utama warga desa adalah kopi. Selain itu, mereka juga memiliki perkebunan vanili, cengkeh, termasuk padi sawah.

Desa Gololoni terletak sekitar 25 kilometer dari Ruteng. Desa ini terdiri atas tiga dusun, yaitu Ajang, Wakas, dan Wodo. Tahun ini warga desa menjalankan ritual penti pada 14 Agustus lalu. Pesta adat penti secara rutin diselenggarakan antara Juli, Agustus, dan September, atau sebelum bulan penutupan tahun.

"Dipilihnya penti di antara bulan tujuh, delapan, atau sembilan karena warga memercayai pada bulan-bulan itulah keberhasilan pada tahun yang mendatang ditentukan. Ini karena hakikatnya penti sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur atas hasil panen yang telah kami nikmati. Selain itu, juga memohon keberhasilan panen di tahun mendatang," papar Ketua Adat Kampung Lerang Petrus Sap di mbaru tembong (rumah adat).

Tradisi penti juga mencerminkan sikap bersyukur manusia kepada Tuhan atau wujud tertinggi (mori keraeng), penghormatan terhadap leluhur (empo), alam, juga sesama manusia.

Nenek moyang

Makna ritual penti bagi warga Desa Gololoni memiliki keterkaitan dengan kepercayaan mereka terhadap nenek moyang yang tinggal di kawasan Danau Ranamese yang terletak sekitar lima kilometer dari Kampung Lerang.

Konon, pada zaman dahulu diyakini terdapat dua danau yang dihuni makhluk halus. Kedua danau itu adalah Danau Ranamese (danau kecil) dan Danau Ranahenbok (danau besar) yang terletak di Desa Golorutuk.

Penghuni Danau Ranamese suatu saat hendak berburu babi hutan. Namun, buruannya terbunuh lebih dahulu ketika manusia melakukan penebangan pohon untuk mencari kayu. Babi hutan, menurut pandangan roh halus, adalah tikus (munggis) yang dianggap tak berarti oleh manusia.

Roh halus menilai manusia telah mencuri buruannya. Namun, mereka akhirnya bisa berdamai dan tikus yang bersangkutan diserahkan kepada penghuni Danau Ranamese. Manusia juga berjanji, suatu saat akan memberikan pertolongan untuk menebus kelalaian yang dilakukan itu.

Suatu ketika terjadi peperangan antara penghuni Danau Ranamese dan penghuni Danau Ranahenbok. Makhluk halus penghuni Danau Ranahenbok ingin menguasai Ranamese. Penghuni Ranamese nyaris kalah karena jumlah lawan lebih banyak dan terlalu tangguh. Penghuni Ranamese lalu meminta bantuan kepada manusia.

Manusia yang telah bersahabat dengan penghuni Danau Ranamese dengan mudah dapat mengalahkan makhluk halus Ranahenbok karena senjata yang digunakan pihak Ranahenbok adalah belut, yang dengan mudah ditebas dengan parang.

Kekalahan penghuni Danau Ranahenbok akhirnya dibayar dengan menukar Danau Ranamese menjadi lebih luas. Legenda itu dipercaya dan diyakini betul hingga saat ini, dan manusia dalam legenda tersebut diyakini merupakan nenek moyang warga Desa Gololoni. Selain itu, banyaknya belut di kawasan Danau Ranamese juga diyakini warga sebagai akibat dari perang pada masa lalu itu.

Mengundang arwah

Dalam syukuran penti, warga tak lupa mengundang arwah nenek moyang di Danau Ranamese untuk datang ke Kampung Lerang. Wakil atau utusan dari Kampung Lerang akan menyampaikan undangan itu dengan cara memberikan sesajian berupa ayam merah yang disembelih di tempat sesaji Batu Naga, di salah satu tepi danau.

Tidak itu saja, warga sendiri melakukan barong lodok dan barong wae. Barong lodok adalah memberikan sesaji berupa seekor ayam untuk mengundang arwah para leluhur yang tinggal di lahan atau ladang mereka, sedangkan barong wae mengundang arwah leluhur yang tinggal di sumber mata air, yang airnya digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, ataupun untuk mengairi kebun dan sawah mereka.

Utusan Kampung Lerang bersama arwah nenek moyang, baik dari Danau Ranamese, areal persawahan, maupun mata air, serta Naga Golo yang merupakan pintu gerbang sebelum masuk Kampung Lerang, akan disambut di compang, tempat sesaji yang terletak di tengah-tengah kampung. Letak compang itu sekitar 200 meter dari rumah adat, tempat berlangsungnya acara puncak penti.

Compang di Kampung Lerang persisnya di salah satu batang pohon yang ada di tengah kampung. Di bawah pohon itulah disusun semacam meja persembahan atau sesaji dari tumpukan tanah dan batu.

"Di compang ini para utusan bersama arwah nenek moyang diterima warga, dan sebagai tanda penyambutan mereka diberi tuak dan ayam. Setelah itu, barulah semua masuk bersama-sama ke dalam rumah adat," ungkap Petrus Sap.

Sebelum memasuki acara inti penti pada malam hari, pagi hingga sore hari itu juga digelar tarian caci, semacam tarian saling mencambuki antarlaki-laki. Tarian tersebut dapat dilakukan secara bergantian oleh warga yang berminat.

Dalam tari caci itu biasanya tampil dua orang. Seorang membawa tameng (nggiling) yang terbuat dari kulit kerbau, seorang lainnya membawa larik, kalus, atau cambuk. Mereka menggunakan alat-alat tarian itu secara bergantian.

Jika tidak tangkas dan hati-hati, pihak yang mendapat kesempatan diserang bisa mengalami luka serius, bahkan pada kasus-kasus tertentu sampai menimbulkan korban jiwa. Mereka yang tampil dalam tarian caci mengenakan atribut khas, antara lain celana panjang putih yang dibalut dengan kain tenun hitam. Selain itu, di bagian kepala dipasang panggal (yang menutup bagian dahi). Bentuk panggal tersebut segi empat ke atas, dan di kedua sisinya terdapat bentuk menyerupai tanduk kerbau yang dihiasi bulu binatang.

Tarian itu diiringi alunan musik khas dari tabuhan gendang dan gong. Gendang yang dipakai itu pun bukan gendang sembarangan, tetapi gendang yang sehari-harinya disimpan di rumah adat. Menurut keyakinan warga, jika irama gendang, yang selama tarian caci berlangsung ditabuh oleh ibu-ibu itu semakin kuat, tarian pun akan semakin semarak.

Rumah adat Kampung Lerang memiliki tiga gendang tradisional yang terbuat dari kulit kambing. Usia gendang diperkirakan sudah ratusan tahun. "Di acara inti pada malam hari akan dilakukan renge ela, upacara pemotongan babi. Setelah itu, hang helang (makan bersama)," .


Rabu, 25 Februari 2009

Ibu Lahirkan 2 Ulat

BORONG, BPOST - Kepala Puskesmas Borong Hilde Gardis Siba, di Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dibuat geleng-geleng kepala alias tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Pasalnya dari bungkusan kain yang diletakkan di atas meja di ruang periksa itu setelah dibuka ternyata berisi dua ulat berwarna cokelat sebesar ibu jari tangan perempuan dewasa.

Kedua ulat yang sudah mati itu dibawa ke puskesmas. Ulat itu sejenis ulat pohon atau yang berada di bawah tanah dalam bahasa setempat ulat seperti itu biasa disebut poak, sedangkan dalam bahasa Manggarai disebut kinabous.

Ulat itu dibawa oleh Johanes Ndoi (33), warga Dusun Rende, Desa Lembur, Kecamatan Kotakomba, Kabupaten Manggarai Timur. Johanes menyakini ulat itu keluar dari rahim istrinya, Sabina Nona (33). Sabina saat itu juga dibawa ke puskesmas dengan dipapah karena dalam kondisi lemas setelah menjalani proses persalinan .

Johanes membawa dua ulat itu ke puskesmas karena penasaran, dan ingin memastikan apakah memang itu ulat yang keluar dari rahim istrinya. Johanes yakin, istrinya mengandung, dan kemarin telah menjalani proses persalinan. Pasalnya, sejak bulan Agustus 2007 istrinya telah berhenti haid.

Pasangan itu telah sembilan tahun menikah, dan belum dikaruniai anak. Sejak Sabina berhenti haid lambat laun dia merasakan seperti mengandung, dan di dalam perutnya terasa pula ada janin yang bergerak-gerak, dan bertumbuh. Hingga kemarin siang itulah Sabina merasakan mulas di perut, lalu meminta bantuan dukun bayi setempat Eli Jaja. Namun, di luar dugaan yang keluar adalah ulat.

Kejadian itu sulit dijelaskan secara medis, masalahnya proses dikeluarkan ulat itu di desa, bukan di puskesmas. Si ibu pun tak melihat sendiri ulat itu keluar. "Dan kalau melihat dari kondisi fisik ibu juga tak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sebab kalau memang benar melahirkan, rahim dan payudara yang membesar pasti masih terlihat. Tapi ini terlihat normal-normal saja," kata Hilde Gardis Siba, Jumat (13/6), yang dihubungi dari Ende, Flores.

Hilde juga menjelaskan, dari kelamin Sabina hanya mengeluarkan darah sedikit, seharusnya jika memang terjadi persalinan biasanya darah yang keluar banyak. Hilde berpendapat, darah yang keluar itu dari proses menstruasi.

"Kalau melihat dari riwayat suami-istri itu memang bisa terjadi, karena merindukan sekian lama kehadiran seorang anak, maka si perempuan ketika berhenti haid merasa yakin hamil, dan perut terasa membesar seperti orang mengandung. Tapi ketika di-USG tak ada janin," ujar Hilde.

Kejadian ini sulit dipertanggungjawabkan, sebab kejadiannya bukan di puskesmas. Si dukun bayi pun tak ikut ke puskesmas, sehingga belum bisa dimintai keterangannya. "Tapi kalau dari pasangan suami-istri itu mengaku kejadian serupa pernah terjadi tahun 2006," kata Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Borong Ajun Komisaris Polisi (AKP) Vitalis NH Sobak.

Senin, 23 Februari 2009

Salomo atau Daud?


2 Taw 1:1, "Salomo, anak Daud, menjadi kuat dalam kedudukannya sebagai raja; Tuhan, Allahnya , menyertai dia dan menjadikan kekuasaannya luar biasa besarnya."Hari ini kita akan melihat dua orang yang sangat terkenal di Alkitab yang sebetulnya juga menggambarkan 2 model yang berbeda dari gereja masa kini, yaitu Salomo dan Daud.Salomo adalah gambaran dari roh dan gereja akhir jaman yang suam kuku. Gambaran dari orang Kristen yang suam kuku (Why 3:16). Sama seperti Salomo, gereja-gereja sekarang diberkati Tuhan luar biasa. Dengan bangunanya yang sangat indah, jutaan dollar juga dikeluarkan untuk penginjilan lewat TV, buku-buku, dan acara-acara yang besar didalam gereja. Semuanya itu berasal dari berkat Allah, seeprti berkat yang diterima Salomo. Salomo adalah orang yang sangat rapih dan pandai. Managemen kerajaannya begitu rapih. Dengan pengaruhnya yang kuat menyebabkan banyak orang datang dari jauh untuk melihat dan belajar dari Salomo. Kekuatan yang bekerja dibelakang Salomo adalah hikmat dan pengertian yang Tuhan beri atas permintaannya sendiri, "Berilah sekarang kepadaku hikmat dan pengertian, supaya aku dapat keluar dan masuk sebagai pemimpin bangsa ini, sebab sipakah yang dapat menghakimi umat-Mu yang besar ini?" 2 Taw 1:10. Semua kita pasti setuju bahwa permintaan Salomo itu baik, karena ia tidak meminta untuk memperkaya diri sendiri, tetapi jika kita selidiki kita akan menemukan ada satu yang salah didalam doa ini. Sebetulnya doa Salomo itu berkata, "Tuhan berikan kepadaku alatnya, lalu aku akan kerjakan semuanya." Salomo meminta hikmat dan pengertian supaya ia bisa menjadi pemimpin yang menjadi hakim atas bangsa Israel. Hari-hari ini banyak gereja-gereja seperti Salomo yang dikendalikan oleh hikmat dan pengertian. Mari kita lihat lebi jauh tentang Salomo ini, 1 Raj 4:32-33, "Ia menggubah tiga ribu amsal dan nyanyiannya ada seribu lima. Ia bersajak tentang pohon-pohonan, dari pohon aras yang digunung Libanon sampai kepada hisop yang tumbuh pada dinding batu; ia berbicara juga tentang hewan dan tentang burung-burung dan tentang binatang melata dan tentang ikan-ikan." Jika diperhatikan sebetulnya sama dengan model gereja hari-hari ini yang banyak membuat lagu-lagu yang indah, kotbah yang sederhana, yang menceritakan tentang kehidupan sehari-hari, yang bagus tersusun dan singkat, tetapi apakah betul itu yang Tuhan kehendaki? Mari kita lihat buahnya, yaitu 40 tahun lalu ada satu survey banyak orang yang lahir baru dan jumlahnya 3,8%, 2 tahun yang lalu dilakukan survey lagi dan jumlahnya tetap 3,8%. Salomo begitu mengandalkan hikmatnya dan tidak bergantung sama Roh Kudus, sehingga ia lupa/tidak mempraktekkan apa yang dia kotbahkan. Alkitab berkata, ia mempunyai banyak istri, pergi dengan wanita-wanita asing dan akhir hidupnya berakhir didalam penyembahan berhala yang buruk dan imoralitas. Semua buah-buah dari hasil kotbah dan nyanyiannya pada akhirnya menjadi hal-hal yang tidak bermoral, tidak membuahkan pertobatan atas hidup orang lain. Bayangkan jika Salomo hidup jaman ini, pasti Salomo sudah ada di TV, ada penyanyi dan musik yang mengiringi, begitu baik... tetapi tidak membawa perubahan kehidupan. Begitu menyedihkan melihat gereja berkata ada revival tetapi kenyataannya orang-orang ynag lahir baru hanyalah menggantikan orang yang meniggal. Dunia ini perlu perubahan, di Amerika, 8 dari 10 keluarga adalah keluarga yang hancur. Di Australia sekarang adalah kota homoseksual nomor satu di dunia! Betapapun bagusnya suatu nyanyian, musik, kotbah, atau gereja, jika tanpa Roh Kudus maka tidak akan membawa perubahan atas hidup manusia. Didalam kitab Pengkotbah, akhirnya Salomo berkata bahwa segala sesuatu itu sia-sia. Salomo kelihatannya mempunyai jawaban, luar biasa, tetapi sebetulnya tidak menghasilkan apa-apa.Sekarang mari kita lihat gereja model Daud. Kekuatan dari gereja model Daud adalah ketergantungan penuh pada Tuhan. 1 Sam 16:13, Daud diurapi dan sejak saat itu Roh Tuhan berkuasa atasnya! Sebelum Daud meninggal, ia memberitahukan kepada Salomo rahasia keberhasilan kerajaan. 2 Sam 23:2, "Roh Tuhan berbicara dengan perantaraanku, firman-Nya ada dilidahku."Daud menyampaikan tentang hati yang dekat, hancur, dan selalu terbuka untuk Roh Kudus pimpin. Daud sangat menghormati Roh Kudus, sehingga ia meminta supaya Tuhan jangan mengambil Roh-Nya dari pada Daud. Daud sadar bahwa ia tidak bisa apa-apa tanpa Roh Kudus. 1 Kor 2:4-5, "Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikamt yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung kepada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah." Jika saudara mau tahu perbedaan dari gereja Salomo dan Daud, gereja model Daud adalah gereja yang hatinya selalu bertobat, bergantung kepada Tuhan, ada rasa haus dan lapar akan Tuhan. Sering kita dapati di Alkitab, Daud selalu berseru kepada Tuhan, tetapi kita tidak pernah melihat Salomo berseru kepada Tuhan. Salomo berkata didalam 1 Raj 8:61 supaya berpaut kepada Tuhan dan mengikuti segala perinta Tuhan, tetapi Salomo sendiri melanggar perintah Tuhan! Ulangan 17:16-17 adalah mengenai peraturan bagi raja-raja untuk tidak memelihara banyak kuda dan mengembalikan bangsa Israel ke Mesir untuk mendapat banyak kuda. Kuda berarti kekuatan manusia. Orang Mesir bergantung kepada kuda dan kereta. Juga dikatakan raja tidak boleh mempunyai banyak istri dan mengumpulkan emas dan perak supaya hatinya tidak menyimpang. Salomo tahu perintah ini bahkan dia kotbahkan ini tetapi dia melanggarnya. Didalam 1Raj 10:28, Salomo mempunyai banyak kuda yang dibawa dari Mesir. 1 Raj 11:1-2, Salomo mencintai banyak wanita asing (Mesir, Moab) dan mengawini mereka semua dan membawa mereka ke istananya. Jadi dia mulai membawa masuk hal-hal yang dilarang oleh Allah. Mesir adalah lambang dari dunia dan Firaun lambang dari setan. Alkitab berkata kita tidak bisa menyembah kepada dua tuan. 1 Raj 10:23, "Raja Salomo melebihi semua raja di bumi dalam hal kekayaan dan hikmat, seluruh bumi berikhtiar menghadap Salomo untuk menyaksikan hikmat yang telah ditaruh Allah dalam hatinya." waktu orang mulai sukses, akan sangat mudah segala sesuatu itu terjadi. Doa Salomo yang mau berjalan sesuai dengan kehendak Allah, tidak terjadi kerena hatinya tidak terbuka untuk dikoreksi oleh Roh Kudus. 1Raj 11:6, "Salomo melakukan apa yang jahat dimata Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya." Daud bukanlah orang yang sempurna, ia melakukan perzinahan, ia membunuh orang tidak bersalah, tetapi setelah ia berdosa, Daud menjerit kepada Allah! Maz 51:1-13. Hati Daud inilah yang membuat ia berubah. Peng 2:23-24 (ditulis oleh Salomo), dikatakan bahwa seluruh ini hanya makan, minum, dan bersenang-senang karena besok kita akan mati. Ini adalah hasil dari hikmat dan pengertian tanpa pengurapan. Tetapi Daud mempunyai tangisan yang berbeda, "Aku berseru kepada Tuhan dan ia mendengarku dari gunung-Nya yang Kudus dan aku akan tidur dengan nyenyak." Jika saudara punya Roh Kudus, engkau akan mendengar suara Allah dan Allah akan mendengar engkau. Salomo memulai dengan baik tetapi ia tidak mengakhirinya dengan baik juga. Daud adalah seorang yang biasa, yang menerima urapan Allah dan terus berjalan didalam urapan itu. Hatinya terus terbuka buat Tuhan. Kis 15:16, "Kemudian Aku akan kembali dan membangunkan kembali pondok Daud yang telah roboh..." Allah akan membangun kembali pondok Daud ini diatas reruntuhan kerajaan Salomo. Jadi kita semua bisa melihat hal ini terjadi. Banyak orang yang berkata "Aku bisa melakukannya dengan kemampuan dan kepandaianku.." tetapi ada juga yang berkata "Tuhan pimpinlah aku, karena aku tidak mampu berjalan sendiri..." Gereja akhir jaman (gereja Daud) akan mempunyai tangisan ilahi terhadap dosa dan mempunyai hati yang lembut dan sangat bergantung kepada Roh Kudus. Bagaimana dengan saudara sendiri???

Salomo



Untuk Nabi dalam agama Islam (tokoh yang sama dalam sudut pandang yang berbeda), lihat Sulayman
Untuk kegunaan lain dari Salomo, lihat Salomo (disambiguasi)
Salomo (bahasa Ibrani: שְׁלֹמֹה; bahasa Ibrani Standar: Šəlomo; bahasa Ibrani Tiberia: Šəlōmōh, bermakna "damai"; bahasa Arab: سليمان Sulaiman) adalah putra Daud, raja ketiga kerajaan Israel setelah Saul dan Daud, ayahnya. Ibunya adalah Batsyeba.
Menurut 2 Tawarikh 1:1-13 di dalam Perjanjian Lama Salomo dikisahkan sebagai raja yang bijaksana. Kebijaksanaannya itu diperolehnya karena anugerah Tuhan.
Kebijaksanaan Salomo
Kebijaksanaan Salomo digambarkan melalui kisah tentang dua orang perempuan yang memperebutkan seorang anak bayi (1 Raja-raja 3:16-28). Kedua perempuan itu mengaku sebagai ibu sang bayi tersebut. Salomo meminta diambilkan sebilah pedang dan memutuskan bahwa supaya adil, bayi itu harus dibelah dua, dan masing-masing perempuan itu akan mendapatkan setengah. Ibu sejati sang bayi memohon kepada Salomo agar bayi itu dibiarkan hidup, bahkan ia merelakan bayinya diserahkan kepada perempuan yang satunya, sementara ia tidak mendapatkan bayinya. Dengan cara itu Salomo berhasil menemukan ibu sejati bayi tersebut.
Akhir pemerintahan Salomo
Dalam kitab 1 Raja-Raja juga diceritakan bahwa masa pemerintahan Salomo diwarnai dengan berbagai masalah, antara lain Yerobeam yang merasa tidak puas dengan Salomo dan melarikan diri ke Mesir, dan Salomo yang pada masa tuanya mendirikan kuil-kuil ilah lain yang membuatnya jatuh ke dalam dosa. Setelah wafat, Salomo digantikan oleh anaknya, Rehabeam yang sangat tidak bijaksana, sehingga akhirnya kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu Kerajaan Utara (Israel) yang dipimpin oleh Yerobeam dan Kerajaan Yehuda di selatan yang dipimpin Rehabeam.

Seputar manggarai


DALAM dunia kedokteran bidang ginekologi ada istilah triplet yaitu bayi kembar tiga. Artinya tiga orang bayi lahir dalam satu peristiwa kelahiran. Kalau empat orang disebut quadruplet dan lima orang quintuplet seperti yang pernah dialami oleh pasangan keluarga William Kienast ketika anak mereka lahir kembar lima pada 24 Februari 1970 di Amerika Serikat. Fenomena kelahiran bayi dalam kehidupan manusia adalah penyelenggaraan Tuhan yang menciptakan manusia itu sendiri. Namun dalam realitas kehidupan sehari-hari peristiwa ini sering bersifat dilematis. Di satu sisi merupakan kebahagiaan yang tak terkirakan bagi sebuah keluarga di sisi lain momen ini justru menimbulkan situasi yang kritis (gawat) dan fatal. Tak jarang sang ibu harus mempertaruhkan nyawa demi kelahiran putra atau putrinya. Istilah triple berarti ‘terdiri dari tiga; bagian atau partai ‘ made of three parts or parties’ (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current Elnglish, A S Hornby). Dalam pelajaran sejarah (dunia) terdapat istilah The Triple Alliance (Aliansi Tiga Negara) yaitu organisasi yang melibatkan asosiasi militer dari tiga negara di Eropa untuk menggalang sebuah kekuatan militer.

Identitas Manggarai

Selasa 17 Juli 2007 lalu resmi sudah terbentuknya sebuahkabupaten baru di NTT, yaitu Kabupaten Manggarai Timur (KMT) dengan Ibu kota Borong. "Bayi Manggarai" ini lahir berdasarkan undang-undang tentang pemekaran wilayah delapan kabupaten baru di seluruh Indonesia yang ditetapkan melalui sidang (rapat umum) DPR RI di Senayan Jakarta. Peristiwa bersejarah ini tak pelak lagi disambut dengan tepuk tangan meriah sebagai tanda suka cita khususnya oleh rombongan asal Kabupaten Manggarai (Pemda, DPRD, tokoh masyarakat Manggarai Timur) yang ikut menghadiri dan menyaksikan jalannya sidang di gedung wakil rakyat itu.

Satu hal menarik yang patut dicatat ialah identitas Manggarai yang melekat dalam ekspresi penyambutan kelahiran Kabupaten Manggarai Timur itu. Busana motif daerah serta peci (songkok re’a) di kepala yaitu topi=songkok yang dianyam dari jenis pohon pandan = re’a, berdaun lurus, panjang pipih,lebar, pinggirnya berduri, dengan aksesoris simbol komodo semakin memperkuat wajah Manggarai di mata publik nusantara. Spontan mereka melantunkan lagu khas Manggarai Timur danding diiringi hentakan sanda (sejenis tarian rakyat).

Ungkapan rasa cinta akan alam Manggarai dalam menyambut peristiwa ini membuat mereka hanyut dalam gempita mars daerah (Pemda) Manggarai berjudul Gunung Ranaka (GR) dari mimbar utama gedung DPR RI (Baca: Pos Kupang, 18 Juli 2007). Satu-satunya Kabupaten di NTT (sebelum pemekaran) mungkin juga di seluruh tanah air yang memiliki lagu mars daerah ciptaan Sekda Kabupaten Manggarai, Pius Papu (alm). Bait pertama berbunyi: Gunung Ranaka tinggi menjulang/rimba belukar padang nan hijau membentang/Sawah dan ladang menguning nan emas di antara lembah ngarai dan sungai mengalir. Lagu ini sesungguhnya berceritera tentang identitasdan realitas alam Manggarai sejak dahulu kala. Dasar filosofis GR senantiasa mengikat jati diri orang Manggarai walau terbagi dalam tiga wilayah pemerintahan tetap dalam satu totalitas keunikan yaitu Manggarai. Semua ini telah terpatri dalam alamnya (tanah yang subur, hutan, gunung, sungai, pantai, danau, pohon raping=enau, pisang, kelapa, kopi, dll) budaya, bahasa, tata cara adat, seni rakyat yang sangat kaya dan beraneka ragam.

Mbaru Wunut

Saat ini terdapat tiga kabupaten di Manggarai yaitu Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Kabupaten Manggarai (induk) dan Kabupaten Manggarai Timur (KMT). Anda tahu berapa luas Manggarai? Mencapai 7.136,4 km2. Ada 44 pulau yang tersebar di pesisir pantai di Manggarai termasuk Pulau Komodo. Dibanding Propinsi Bali, cuma 5.632,86 km2 atau kabupaten-kabupaten di Jatim semisal Nganjuk (1.182,64 km2), Situbondo (1.457,10 km2), Jember (2.948,50 km2), dll, (Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Depdikbud, Balai Pustaka, Jakarta 1995).

Sungguh sebuah kawasan yang mahaluas. Jadi dapat dibayangkan bagaimana sulitnya seorang Bupati Manggarai mengurus dan melayani kebutuhan pembangunan daerah dan masyarakat di kawasan seluas itu yang terbentang dari ujung timur di Waemokel (sungai yang membatasi Kabupaten Manggarai dan Ngada yang berdekatan dengan pelabuhan feri Aimere) hingga selat Sape antara Pulau Komodo dan Pelabuhan Sape di Pulau Sumbawa (NTB).

Manggarai dengan Ruteng sebagai ibu kota sulung (induk) ibarat sebuah tapak tilas hakekat Manggarai yang berakar padasebuah sentralitas dari berbagai aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik serta perkembangan kemajuan di wilayah ini. Dia merupakan simbol dimana "Kraeng (keraeng) Adak" (orang terpandang, terhormat dan disegani sebagai pemimpin) berdiam. Manggarai dalam perjalanan sejarah bangsa ini tercatat sebagai masyarakat lokal yang begitu gigih menentang penjajah Belanda. Akibatnya terjadilah pertempuran (perang) di Copu yang melibatkan pasukan rakyat Manggarai pimpinan Motang Rua melawan pasukan Belanda pada tahun 1907. Semangat nasionalisme dalam bingkai Manggarai telah mengangkat harkat dan martabat orang Manggarai lewat kepahlawanan Motang Rua.

Ketika Mbaru Wunut (rumah adat) hadir di tengah-tengah kota Ruteng beberapa tahun silam eksistensi Manggarai ditampilkan lewat rumah adat tersebut. Sebuah diorama yang mencerminkan masyarakat Manggarai sebagai warisan nenek moyang yang tak terhingga nilainya. Ia merunut kembali perjalanan sejarah tat kala sistem kepemimpinan konvensional masyarakat tempo dulu ada di pundak raja-raja Manggarai keturunan ‘keraeng’ seperti Baruk, Bagung, Ngambut yang pusatnya di Todo dan Pongkor daerah Kecamatan Satar Mese. Nuansa kebesaran Manggarai sebagai sebuah kerajaan terbaca dalam sistem pemerintahan lama dimana seluruh kawasan Manggarai diatur dalam 30 lebih wilayah-wilayah pemerintahan yang disebut kedaluan dan dipimpin oleh seorang dalu, Keraeng Dalu. Antara dalu-dalu dengan top pimpinan yang berkedudukan di Ruteng peralihan dari sistem raja ke kepemimpinan Kepala Daerah (Bupati) memiliki hubungan tali keturunan terpandang (rang keraeng). Mbaru Wunut itu telah menyatukan etnik Manggarai dalam satu karakter budaya, adat istiadat, bahasa yang sama yangterbentang dari timur sampai ke barat. Simbol utama yang tampak adalah rangga kaba (tanduk kerbau) yang dipancang di puncak mbaru wunut melambangkan orang Manggarai yang pekerja keras seperti seekor kaba lambar ‘kerbau liar’ (Baca: Anton Pandong;"Gereng Cekoen ta Mbaru Wunut", Surya, 23 Maret 1991). Kerbau yang menjadi simbol tata cara adat seperti dalam urusan perkawinan sejak dahulu kala menjadi bagian terpenting. Tidak heran ini menjadi salah satu nomor jenis "belis" yang berlaku di kalangan masyarakat meski dalam perjalanannya mengalami modifikasi sesuai perkembangan jaman.

Bahasa Manggarai

Keunikan Manggarai ditinjau dari sudut sosio-etno linguistic adalah sebuah fenomena budaya yang kaya dan bernilai luhur. Entah di Manggarai barat, tengah, mau pun timur bahasa Manggarai adalah identitas daerah yang begitu kokoh. Seluruh masyarakat Manggarai merasa satu ketika media komunikasi ini hadir sebagai mediator dalam setiap perilaku kehidupan sosial diiringi tata cara adat yang berciri khas setempat. Salah satu contoh yang sering ditemukan ialah acara penyambutan tamu pejabat yang selalu diwarnai oleh tata cara adat dengan penggunaan bahasa Manggarai (style) yang santun dan indah serta simbol-simbol tradisi yang masih kuat seperti seekor ayam dan robo tuak (minuman arak dari sadapan pohon aren yang tersimpan dalam sebuah wadah dari sejenis labu yang sudah kering). Keindahan budaya tersebut adalah warisan leluhur orang Manggarai yang wajib dituruntemurunkan.

Ahli bahasa (linguis) yang pernah mengadakan penelitian danmenghasilkan karya dokumenter bahasa Manggarai adalah Jilis AJ Verheijen SVD. Misionaris berkebangsaan Belanda inilah yang pertama kali menggunakan istilah barat, tengah, timur dalam konteks wilayah bahasa Manggarai (linguistic area) berdasarkan hasil studi dan penelitiannya dan berhasil membuat Peta Bahasa Manggarai. Bahkan menurut beliau, bahasa Manggarai terdiri dari empat dialek mayor yaitu dialek Manggarai Barat, dialek Manggarai Tengah, dialek Manggarai Timur, dan dialek SH. Dinamakan dialek SH karena masyarakat pemakai bahasa Manggarai di daerah Kolang, Pacar, Berit, Rego, Nggalak menyebut konsonant /s/ menjadi /h/ seperti pada kata ‘salang=jalan’ menjadi ‘halang’. Masing-masing wilayah dialek memiliki variasi-variasi bahasa (variant) yang menarik dan cukup banyak. Bayangkan, Manggarai Timur sendiri memiliki 6 sub dialek yaitu Rongga, Mbaen, Baiq, Pae, Toe, Ning dengan spesifikasinya masing-masing, namun semuanya tetap dikenal sebagai bahasa Manggarai.

Demikian halnya di Manggarai Barat ada dialek Kempo, Boleng, Mata Wae, Welak, sedangkan Manggarai Tengah lebih monodialek dengan distingsi intonasi yang sangat khas. Oleh karena itu kalau orang Manggarai tengah berbahasa Indonesia, maka logat dan intonasi Manggarai tengah sering terbawa-bawa dalam penggunaan bahasa Indonesia (Sumber: Willem Berybe ‘Manggarai Noun and Verb Formation, A Descriptive Analysis of The Morphology of The Manggarai Tengah Dialect (A Comparative Study); Thesis, English Department Fakultas Kegu-ruan Unversitas Negeri Nusa Cendana Kupang, 1982).

Kehadiran tiga kabupaten dengan wilayah kekuasaan dan pemerintahan yang berbeda-beda di Manggarai adalah sebuah entitas Manggarai dalam model "three in one". Ia tetap beradadalam satu konteks Manggarai berdasarkan identitas, originalitas serta sejarah Manggarai sebagaimana dipaparkan di atas. Manggarai bakal menciptakan tiga kekuatan raksasa di kawasan ini. Bisa dibayangkan poros tiga ibu kota kabupaten yang strategis; Borong, Ruteng, Labuan Bajo dengan sentra-sentra kekuatan ekonomi, sosial, politik, kebudayaan menjadi basis-basis kekuatan yang dapat diperhitungkan di masa depan. Tiga pelabuhan laut yang menjadi pilar ekonomi perdagangan Labuan Bajo di Mabar, Reo di Kabupaten Manggarai, dan Borong di KMT termasuk kandidat pelabuhan laut Wae Wole di kawasan Wae Lengga yang semakin diincar investor serta jaringan transportasi udara yang kian sibuk dan padat baik di Bandara Satar Tacik Ruteng mau pun Mutiara Labuan Bajo memperlihatkan potensi-potensi SDA Manggarai yang handal.

Tinggal saja, apakah SDM Manggarai mampu memberdayakannya dan bukan memperdayakannya?