Minggu, 05 April 2009

Mencoba Lagi Menjadi Orang Manggarai

Menyebut Manggarai mengingatkan kita akan aroma kopi Manggarai yang tersohor.

Kopi merupakan produk unggulan dari daerah ini yang utamanya dihasilkan dari kawasan adat Colol, Kecamatan Poco Ranaka.

Kopi telah mencuatkan daerah ini sejak tahun 1937. Kopi dikembangkan pertama kali di Colol pada sekitar tahun 1920. Tak heran jika pada tahun 1937 para petani memperoleh penghargaan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemenang “Pertandingan Keboen Kopi Arabika”.

Di Negeri Merdeka Mereka Teraniaya

Brutalisme aparat negara atas petani dan masyarakat adat Indonesia kembali terjadi di bumi Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 10 Maret 2004. Aksi damai sekitar 120 orang petani Colol-Poco Ranaka dihadapi dengan represif aparat polisi. 6 orang[1] petani harus tewas, 28 orang luka tembak peluru tajam, serta puluhan lainnya babak belur dan sisanya ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai.

Peristiwa ini bukan yang pertama kalinya. Bukan pula peristiwa yang berdiri sendiri dan terjadi secara tiba-tiba. Tim Advokasi untuk Rakyat Manggarai (TARM) mencatat bahwa tindakan biadab dan pelanggaran Hak Asasi Manusia ini bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2002 Bupati Manggarai Antony Bagul Dagur melalui Surat Instruksi Nomor: DK.522.11/1134/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002, telah menginstruksikan untuk melakukan operasi gabungan di kawasan Register Tata Kehutanan (RTK) 111 Meler-Kuwus sejak Oktober 2002-Oktober 2003, dengan melibatkan aparat Mapolres Manggarai, Kodim 1612/Ruteng, Polisi Kehutanan, Polisi Pamong Praja, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Kejaksaan Negeri Ruteng aparat Kecamatan terkait termasuk preman bayaran,.

Operasi digelar dengan cara memusnahkan semua tanaman produktif milik petani (utamanya kopi), serta menangkap serta menyiksa para petani dan masyarakat adat. Dalam operasi ini di kawasan RTK 111 ini, 20 orang petani ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai. Selanjutnya, operasi penangkapan petani pertama dilakukan pada tanggal 14-15 Mei 2003 di kawasan eks tanah erpacht Reo di kawasan Gendang (kampung) Mahima. 71 orang petani terdiri dari 56 laki-laki dan 15 orang perempuan ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai.

Belum puas dengan 91 orang petani yang sudah ditangkap, pada 29-30 Juni 2003 sejumlah 29 orang petani dari kampung Salama, Reok ditangkap lalu ditahan. Operasi pembabatan tanaman kopi dan tanaman produktif lainnya terus berlangsung di wilayah RTK 118 Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng di kawasan Colol, Kecamatan Poco Ranaka hingga Oktober-Desember 2003. Perlawanan komunitas adat Colol yang dilakukan secara damai mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya terus dihadapi dengan tindak kekerasan dan operasi penangkapan. Teror, kekerasan dan penjarahan hasil-hasil pertanian petani, turut menjadi catatan penting dalam gelar operasi yang oleh Tim Terpadu ditargetkan akan dilakukan pada wilayah seluas 86.556.93 ha.

Disamping itu pada tanggal 9 Maret 2004, 7 orang petani terdiri dari 4 orang perempuan dan 3 orang laki-laki ditangkap saat berladang di kawasan Desa Rendenao oleh satuan Tim Terpadu yang dipimpin langsung oleh Bupati Antony Bagul Dagur, kemudian para petani diserahkan pada polisi untuk ditahan di Mapolres Manggarai.

Alasan Bupati Manggarai dan aparat terkait, seluruh operasi dilaksanakan untuk mengamankan kawasan hutan lindung yang didasarkan pada:

a. Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan;

b. Perjanjian kerjasama antara Departemen Kehutanan, POLRI dan TNI Nomor: 09/Dj-IV/LH/2002 Tentang Penyelenggaraan Operasi Pengamanan Hutan, Kawasan dan Hasil-hasil Hutan;

c. SK Gubernur NTT No.64/1996 Tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Propinsi NTT;

d. SK Bupati Nomor: Pb.188.45/27/VI/2002 tentang Pembentukan Tim Terpadu Tingkat Kabupaten Manggarai dalam Rangka Penertiban dan Pengamanan Hutan Manggarai.

Dampak Operasi

Ratusan kepala keluarga (KK) petani dan masyarakat adat harus terusir dari tanah leluhurnya, serta terancam kemiskinan struktural akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan mereka. Tak kurang dari 154 orang petani telah ditahan dan dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Ruteng—dalam gelar operasi tanpa kemanusiaan ini. Ribuan anak-anak petani harus rela putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk menikmati masa depan dan suasana hidup yang damai dan berkeadilan. Mereka semua terancam kelaparan massal. Kebanggaan mereka untuk menjadi Orang Manggarai--dengan kopi-nya yang terkenal serta kedalaman tradisi nenek moyang yang terjaga turun temurun--pupus sudah. Luluh-lantah demi kepentingan sang penguasa yang lalim.

Sebuah potret buram dari penerapan kebijakan agraria dan sumberdaya alam yang lagi-lagi masih tidak memihak kepentingan rakyat (kaum tani dan masyarakat adat). Operasi kehutanan di era otonomi daerah yang masih saja mengatasnamakan kepentingan konservasi—namun menistakan kuasa Rakyat!

Kondisi Saat Ini

Orang Manggarai—para korban operasi—saat ini terus berjuang merebut dan mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya melalui wadah Serikat Petani Manggarai (SPM). Organisasi Rakyat Kaum Tani dan Masyarakat Adat yang dideklarasikan pada Hari Tani 24 September 2004 di Ruteng, oleh 35 komunitas adat dan organisasi tani lokal. Tekad mereka sudah bulat. Ketidakadilan ini harus dilawan.

Mereka, mencoba lagi menatap masa depan negerinya dengan ungkapan bahasa sederhana:

…mencoba (lagi) menjadi Orang Manggarai…

Yang terlupakan Didaerah Manggarai

Kebudayaan (kalau dilihat dari atas perbukitan) adalah sebuah cita rasa estetika. Mungkin terwujud secara tak sengaja melalui keseharian masyarakat pendukungnya. Contohnya seperti Sawah Lodok di Cancar Manggarai sebagaimana tampak di photo ini.
photo by Flores Out-door
Kadangkala disebut juga dengan istilah Sawah Lingko atau Sawah Ulayat. Hanya ada di Cancar ruteng Manggarai, NTT, lho...mungkin kagak ade di Chine. Kira - kira kalau dari Ruteng memakan waktu setengah jam perjalanan naik oto.

Jangan lupa naik kendaraan yang ada jendelanya. Supaya Anda dapat membuang pandang pandang ke lembah - lembah yang terhampar luas di sepanjang jalan.Di situlah kita melihat paduan antara keajaiban alam dan keajaiban citarasa manusia yang sesungguhnya. Sawah - sawah mengapung hijau serupa jaring laba - laba raksasa yang setiap sudutnya diikatkan ke dinding perbukitan. Ada kabut tipis yang sesekali menggelusur jatuh, juga dari perbukitan.
Orang menamainya Sawah Lodok. Dinamai sesuai dengan salah satu cara pembagian tanah ulayat dalam komunitas adat Manggarai, NTT. Konon, dari bentuk artistik persawahan itu tercermin betapa kuatnya hubungan kekerabatan masyarakat Cancar. Menurut sebuah sumber Lodok adalah penyebutan lokal untuk sistem pembagian tanah ulayatnya. Tanah-tanah adat yang disebut lingko dibagi kepada warga dengan sistem lodok. Yakni cara membagi lingko yang dimulai dari teno di pusat lingko. Kemudian menarik garis lurus (jari-jari) hingga batas terluar tanah lingko tersebut sebagai batas (langang).
Proses pembagian sebagai berikut: di pusat lingko ditanam sebatang kayu yang disebut “teno”.Dinamakan teno karena sepotong tiang itu diambil dari sejenis pohon yang dinamakan haju teno.(pohon teno). Teno merupakan pusat lingkaran tanah lingko yang selanjutnya disebut sebagai lodok (titi pusat) Dari teno ditarik garis batas yang disebut langang (batas tanah) sampai ke batas terluar tanah lingko yang disebut “cicing”. (lodokn one cicingn pe’ang).
Berapa besar ukuran besaran tanah di lodok (pusat lingko)? Masyarakat Manggarai membaginya berdasarkan “moso” (satu jari tangan) sebagai dasar pembagian awal. Besaran mosopun sangat relatip, tergantung pada berapa jumlah warga yang akan menerima pembagian di lingko bersangkutan. Makin banyak yang akan menerima, makin kecil ukuran moso, demikian pula sebaliknya makin sedikit jumlah penerima, makin besar ukuran moso. Berapa moso dibagikan kepada setiap orang juga bergantung pada kedudukan orang dalam beo (kampung). Maka dikenal istilah moso biasa (satu jari), moso kina (satu setengah jari) dan moso wase (tiga jari). Warga yang dianggap sebagai pemimpin (tu’a beo / golo) atau tuan tanah (tua teno) biasanya mendapat moso wase (tiga jari) yang merupakan ukuran paling besar. Sedangkan warga lainnya akan menerima moso biasa (satu jari) atau moso kina (satu setengah jari).
Hasilnya adalah suatu contur estetika seperti dalam photo ini.

photo by adventure travel

Mengagumkan bukan? Kalau bukan seperti jaring laba - laba, bentuk ini mengingatkan kita pada sebuah kubah yang terbalik. Mungkin di zaman dahulu kala sekali ada sebuah kubah yang terjatuh dari surga dan jatuhnya tepat di bumi Manggarai kali ya...

Lembor - Labuan Bajo
Manggarai memang dikenal sebagai lumbung berasnya NTT. Khusunya Lembor. Kalau di Cancar (yang lokasinya agak masuk ke selatan dari jalan utama Ruteng - Labuan Bajo) kita menemukan keunikan kultur agraris yang masih terpelihara, di kecamatan Lembor kita dapat melihat betapa suburnya NTT. Dari sinilah kebutuhan beras penduduk disuplay sepanjang waktu.Sebagian besar daerahnya adalah dataran luas persawahan yang di lingkari gugusan perbukitan di kejauhan. Luas sekali terlihat.
Ke sana, ke bukit - bukit di kejauhan itulah oto yang menuju labuan Bajo terus bergerak. Apabila sudah terasa jalan mulai mendaki, siapkanlah diri Anda. Jalan makin sempit ke arah Labuan Bajo, aspalnya sudah banyak yang rusak. Kalau sudah begini, siapkan pula lah diri Anda untuk memaki - maki pemerintah dalam hati karena infrastruktur jalan dan transportasi umum yang buruk (dan ini terjadi hampir di seluruh propinsi NTT). Sangat tak sebanding dengan karunia alam yang diberikan kepada Manggarai ini.
Sekali lagi, silahkan menyumpahi pembangunan yang lalai. Sumpah serapah kita tak kan didengar orang kalau di dalam oto. Sebab biasanya ada musik dipasang keras - keras toh. Apalagi sopir oto Ruteng - Labuan Bajo itu biasanya lulusan STM alias Sopir Timor Modifikasi. Dibentuk oleh campuran kultur santri katolik, budaya lokal, budaya indonesia modern dan pengaruh tuak sedikit hehhehe... .... Jadi sudah pasti suka musik dan suka gila-gilaan di jalan sempit yang di sisinya ada jurang - jurang dalam. Mana sempat memperhatikan kita hehehe. Namun tentu saja pengalaman seperti ini hanya terjadi kalau kita naik bis umum.
Kalau menaiki mobil travel tentu lain lagi ceritanya ya. Flores secara umum ditempati oleh masyarakat yang ramah dan penuh toleransi, fair dan karena itu siapapun yang mengunjungi wilayah ini dijamin merasa aman. Seaman perasaan kita menyaksikan panorama luar biasa saat oto menuruni jalan perbukitan ke arah Labuan Bajo menjelang senja.
Ada gugusan bukit yang berlapis - lapis hingga ke bawah sana. Punggung pulau - pulau yang warnanya berubah jingga karena disepuh lembayung senja. sampai di sini, cobalah mengheningkan pikiran. Rasanya kita sedang berada di garis batas alam nyata dan alam gaib. Matahari yang meninggalkan cahayanya di balik gugusan pulau pulau jauh itu bagaikan sebuah pintu gerbang ke alam lain. sedang oto terus melaju mendekatnya.
Tak lama kita saksikan hal seperti itu. Karena hari segera malam dan malam segera menjemput subuh. Pada saat itulah kita selalu ingin melihat Labuan Bajo. Seekor elang putih melayang ringan ke pucuk menara kapal. Hinggap di sana dan matanya yang tajam memandang ke dasar laut yang jernih, perahu - perahu nelayan, gugusan pulau berpasir halus. Sedang ke seberang sana, laut yang tenang dan jernih itu terus mengalun riak dan cahya. Laut yang sepertinya tak ingin menyembunyikan apa - apa yang ada di dasarnya...


Kota komba,Manggarai Timur

Kecamatan Kota Komba iku salah sijining kecamatan neng Kabupaten Manggarai provinsi Nusa Tenggara Timur. WOLOMBORO- DESA BAMO KEC.KOTA KOMBA-FLORES KABUPATEN MANGGARAI TIMUR. Wolomboro adalah Nama dari sebuah kampung yang ada di Desa Bamo-Kec.Kota Komba-Flores Barat Kabupaten Manggarai Timur-Indonesia.Yang masih banyak menyimpan sejarah Budaya atau Adat Traditional bahkan sampai saat ini kita masih dapat menyaksikan Atraksi-atraksi Budayanya. Wolomboro Tetangga kampung Wokopau yang sangat mengalami kekurangan atau sumber daya hidup masyarakatnya masih sangat terbelakang, kemiskinan terdampak jelas di kampung ini. Walaupun mereka begitu susah hidupnya tapi banyak menyimpan sejarah Budaya di Manggarai Timur. Kampung yang pusatnya Atraksi Traditional seperti ; Caci Dance- Danding atau Tandak- Fera Dance- Mbata ( pemukulan tambur dan gong ) Serta pembuatan Perlengkapan alat-alat dapur dari Tanah Merah yang terkandung di gora kampung ini dengan menggunakan peralatan yang sangat sederahana atau traditional.

DANDING ( TANDAK ) ;

Danding adalah Sebuah Tarian serta Nyayian dalam bentuk Pantun dari kelompok Pria, dan kelompok Wanita yang menjawabnya ataupun sebaliknya. Lagu atau Danding ini sebuah tanya jawab apa yang terjadi di bumi ini dalam kehidupan sehari-harinya. Pelaksanaannya pada malam hari, dimana peserta Tandak membentuk sebuah linggkaran dan saling berpegangan pundak atau berpelukan dan berjalan sambil mengangkat kaki dan menghentakan kaki ke tanah yang di ketuai oleh seorang yang namanya;Kepala Nggejang dari bahasa daerah setempat atau pemberi Irama gerakan dari lagu atau nyanyian tersebut dan berdiri di tengah lingkaran dengan membunyikan alat Giring-giring dari bahan besi atau perak campur perunggu.

Tarian ini bertujuan agar Pemuda dan Pemudi saling mempunyai kesempatan untuk saling berpandangan dan kadang-kadang berakhir dengan jatuh cinta. Intinya Tarian ini dibuat sebagai tempat pertemuan antara Pemuda dan Pemudi dari berlainan kampung pada malam hari. Pada saat acara ini berlangsung semua bebas memilih pasangan dan tidak ada yang melarangnya selama pertemuan pemuda-pemudi berjalan aman,asal jangan melakukan pemerkosaan. Banyak Wanita yang lari ikut Pria pada acara ini dan bersatu menjadi Suami Istri jika keluarganya merestui pernikahan anaknya. Ada juga yang tidak, jika masih ada hubungan keluarga atau sejarah nenek moyangnya sama. Dan yang hadir pada acara ini dari Anak kecil sampai orang dewasa dari beberapa kecamatan yang ada di manggarai timur. Acara ini diadakan setiap selesai panen yaitu pada bulan Juli-oktober setiap tahunnya.

FERA DANCE ( TARI FERA ) :

FERA adalah sebuah Tarian yang sangat Tua dari beberapa abad yang lalu, yang pelaksanaannya bisa pada malam hari ataupun pada siang hari di bulan yang sama. Jenis Tarian seperti ini cuman ada di kampung Wolomboro yaitu tetangga kampung wokopau dan banyak diminati oleh wanita yang telah bersuami, saling berpegangan tangan dan membentuk baris memanjang, bernyanyi sambil menari dengan memgangkat kaki satu sebatas pinggang. Dan yang Pria membentuk barisan sendiri dengan irama yang sama dan lagunya’pun menceritakan tentang nenek moyang yang telah lama meninggal atau cerita-cerita pada zaman dahulu kala dalam bahasa Rongga atau bahasa daerah setempat.

Gerakannya sangat jauh berbeda dengan Tari Tandak, Fera tidak terlalu memakan energi sedangkan Tandak membutuhkan energi yang banyak. Begitu pula dalam menyanyikan sebuah lagu, kedengarannya lebih merdu dan bersahaja jika dibandingkan dgn lagu atau nyanyian tandak. Tradisi ini hanya dilaksanakan jika ada peringatan kematian Nenek atau orang-orang yang di anggap sabagai ketua Adat pada masa kejayaannya. Kampung-kampung yang memiliki Tradisi FERA di Manggarai timur yaitu; Kampung Wolomboro,Kampung Bamo atau Mbero, Kampung Pandoa, Kampung Sere dekat Kisol dan Kampung Nangarawa. Selain kampung yang ada diatas tidak ada yang melakukan tarian Fera, tapi pada umumnya Masyarakat yang tinggal di lingkungan manggarai atau Flores barat mengenal jenis Tarian ini.

CACI DANCE ( TARI CACI ) :

Pertandingan Caci biasanya dibuka dengan Kelong atau Nyanyian Adat dari yang menseponsori acara Tari Caci, bisa dari kelompok setempat ataupun dari luar lingkungan kampung wolomboro, lalu di ikuti dengan Tandak atau Danding oleh kelompok tersebut. Lagu atau Nyanyian Kelong tidak boleh di nyanyikan di sembarang tempat, karena nyanyian ini bertujuan untuk memanggil arwah-arwah orang yang telah meninggal dunia atau nenek moyang yang telah lama meninggal untuk hadir bersama dalam menyaksikan atraksi Caci yang akan dilaksanakan.

Dan jika "Kelong"atau lagu Adat ini telah di nyanyikan oleh kelompok tertentu maka tari Caci pada hari itu harus dilaksanakan atau jadi terlaksana. Sebelum diadakan Kelong tidak boleh melakukan pertandingan Caci. Sebelum beradu dilakukan pemanasan dengan menari yang diiringi gong dan tambur sambil menyanyikan lagu manggarai. Untuk memanas-manasi keadaan lawan para penari ini berjalan sambil menari mengelilingi lingkaran arena pertandingan bila perlu saling menantang.

CACI dimiliki oleh seluruh kampung di Manggarai Flores Barat, biasa dilaksanakan setelah memungut hasil dari ladang kering ataupun sawah setiap tahunnya pada bulan juli sampai oktober dan di laksanakan pada siang hari oleh dua kelompok masing-masing tiga pasang atau lebih, tergantung dari luasnya arena pertunjukan. Dimana acara pemukulan'nya dgn sebuah Larik atau pecut satu lawan satu dari kelompaknya masing-masing. Dengan ketentuan memukul sebatas pinggang sampai di bagian kepala.

Dengan Asesoris di kepala yang begitu indah, biasanya memakai "Pangga"dalam bahasa daerah setempat. Yaitu sebuah Asesories yang dibuat dari kulit kerbau berbentuk sebuah tanduk lalu dibalut dengan kain sampai membentuk seperti tanduk kerbau, dan di tengah tanduk ada asesories membentuk ekor kuda ini pertanda bahwa mereka perkasa seperti seekor kerbau atau seekor kuda jantan. Tubuh harus dalam keadaan telanjang,dan dari pinggang kebawah dikenakan Sarung Songket Manggarai dengan segala Asesories lainnya termasuk Giring-giring yang digantungkan dibelakang pinggangnya agar pada saat menari dapat mengeluarkan irama atau nada yang merdu didengar dalam mengikuti irama gong yang dibunyikan oleh kelompoknya.

Biasanya pembuka pukulan dari Toko-toko Adat yang seponsor acara Caci ini, dan dari kelompok pendatang atau dari luar daerah setempat yang menadahnya atau menangkis. Masing-masing pemain harus melihat siapa penantangnya, karena kalau masih ada hubungan darah atau keluarga tidak boleh melakukan pengaduan atau pemukulan. Kecuali sebatas teman atara kampung. Para pemain dalam mengadu ketangkasan dan keluwesan dalam menangkis pukulan lawan bisa dimulai dengan bertindak sebagai pemukul dan pada kesempatan lain sebagai penangkis. Dan juga tidak ada keharusan untuk menadah pukulan lawan setelah kita memukulnya, bisa di ganti dengan pemain yang lain.

Mbete,Larik atau pecut yang dibuat dari kulit kerbau yang kering ini jika mengenai badan bisa menimbulkan luka. Sebab kalau di kampung Wolomboro ini, di ujung Pecut'nya di pasang sebatang Lidi dari pohon Nira atau pohon tuak bahasa setempat. Ini bertujuan agar sebelum melakukan pemukulan para pemain membunyikan pecut tersebut seperti suara sebuah bom yang meledak ( ini juga salasatu cara untuk memanasi lawanya ) dan jika lidi dari tuak ini mengenai badan langsung mengeluarkan darah atau luka.

Para penonton pun harus membuka mata karena kadang-kadang lidi ini putus dalam saat melakukan pukulan dan mencar'nya ke penonton.( penonton bisa membawa luka tanpa bermain caci ) Dengan lincah si penyerang mengayunkan pecutnya ke tubuh lawan, sementara si penangkis berupaya menghalangai sabetan pecut dengan sebuah Tameng atau perisai dari kulit kerbau dan sebuah tereng yang terbuat dari sebatang bambu kering yang ukurannya 2 -3 meter.Tapi yang pakar'nya dalam bermain caci bisa menadanya dengan sebuah tempurung kelapa sebagai tameng dan sepotong kayu yang ukuran 1meter sebagai terengnya. jika pukulannya kena membuktikan bahwa penyerang berhasil mengalahkan lawanya. Dan jika megenai wajah bahasa setempatnya bilang "Beke" harus diganti dengan posisi orang lain dan ini pertanda pembawa sial dalam kelompoknya dan malu karena kalah dalam pertandingan ini.Tapi semua pemain caci sudah siap menerima resiko sehingga para pemain harus mahir memukul dan memblokade pukulan lawan.

Setelah pukulan berakhir si penada ini mengeluarkan suara atau Paci. Paci adalah bahasa kiasan yang mengartikan kehebatan seseorang. Contoh paci menyebutkan sebuah benda seperti Jangkar/Anker/Saul. jika Anker ini sudah tersangkut di batu karang ,perahu yang membuang Anker ini tak mungkin bisa berjalan atau hanyut terbawa arus. Jika ada orang yang mengeluarkan Paci jenis ini pertanda bahwa dia paling hebat dalam permainan Caci.

Lalu ada lagi bahasa setelah Paci, yaitu bertanya kepada penonton apakah permainan saya cantik atau tidak? Apakah anda melihat pukulan tadi kena atau tidak? Dan penonton menjawabnya dengan versi suport "Cantik dan tidak kena".Di dalam Bahasa daerahnya ; "Oe...Ema O....!!!! Hena ko toe...? pass pasang daku ema..?Kelompoknya menjawab:"Oeeeee.....!Passss Anak......!

selanjutnya Danding atau Tandak atau menyanyikan lagu daerah manggarai. Pada saat Menyanyikan lagu atau paci,tameng dan tereng tidak boleh lepas dari tangannya,dia harus memberikan tameng ini kepada lawannya dalam posisi badan menunduk atau jongkok tanda penghormatan,begitupun yang menerimanya. Mahir memukul lawan,trampil menangkis serangan,sportifitas tinggi,bisa mengendalikan diri dalam arti walaupun terluka wajib memberi hormat kepada lawannya. Indah menarinya dan merdu menyanyikan lagu daerah adalah salasatu persyaratan dalam pertandingan Caci ini sehingga para penonton sangat terhibur.

Tidak boleh ada yang menyimpan rasa dendam dalam pertandingan ini dan setelah pertandingan usai para pemain saling berjabatan tangan dan memaafkanya. Caci dimulai dari jam 08.00am sampai jam 06.00pm dan ditutupi dengan membuang selembar Tikar dari daun pandan ke tengah lapangan pertandingan, ini pertanda bahwa Caci telah selesai dan para pemain harus berhenti melakukan pemukulan dan masing-masing kelompok semua bubar. Kadang-kadang malamnya dilanjutkan dengan acara Danding atau Tandak, itupun jika yang punya acara dan para Ketua Adat merestuinya.

MBATA ( PEMUKULAN TAMBUR DAN GONG ) :

Kehidupan orang-orang dikampung ini sangat sederahana dan masih berpegang teguh pada Adat. Sehingga selalu ada yang mengadakan pesta Adat setiap tahunnya. Ritual terbesar yang diadakan di kampung wolomboro yaitu acara peringatan kematian Nenek Moyang, dimana seluruh Masyarakat dari kampung; Pandoa,Bamo,Mbero,Sere,Watu nggong,Nanga Rawa,Wolobaga,wae Soke,Wae Kutung dan Wokopau, semua berkumpul dalam satu rumah adat dan masing-masing suku atau kilo/clan membawah hewan kurban.

Pada acara ini mengorbankan hewan yang banyak, dan pada malam hari diadakan "Mbata"Acara pemukulan Tambur dan gong dengan menyanyikan lagu-lagu Traditional sepanjang malam, dengan tujuan memohon restu kepada semua makhluk penjaga tanah agar acara pemotongan hewan dan memberi makanan kepada nenek moyangnya dapat berjalan mulus tanpa ada halangan atau percecokan antar suku.

Menurut kepercayaan dari kampung ini, pada saat Tambur dan Gong dibunyikan pada malam hari, semua arwah orang yang telah meninggal dunia mendengar, datang dan hadir pada palam itu. Sehingga pada saat pemukulan Tambur memiliki dua irama; Mbata dan Tete ndere. Mbata irama pukulannya pelan dengan menggunakan telapak tangan di iringi dengan nyanyian yang lamabat juga, sedangkan Tetendere iramanya cepat sebagai tanda kebahagiaan tanpa nyanyian dengan menggunakan stick atau kayu khusus yg dibuatnya untuk memukul tambur.Di Kampung ini Tambur dibuat dari Kulit Kambing atau kulit Sapi yang sudah kering.

PERLENGKAPAN ALAT DAPUR DARI TANAH MERAH ;

Di Wokopau,Wolomboro dan Wae Soke adalah tempat pembuatan Periuk dari Tanah Merah. Dari semua jenis perlengkapan dapur dibuatnya .Membuatnya pun sangat Traditional yaitu menggunakan batu sebagai palu, air dan daun pisang sebagai pembungkus tanah beralaskan selembar papan sebagai dasar penyimpan tanah yang mau di peram. Proses pembuatan sebuah periuk yang bagus membutuhkan waktu dua bulan. Awal dari prosesnya sebagai berikut; Tanah di Gali dengan memakai linggis yang terbuat dari kayu, dan di bungkus dengan daun pisang, lalu di peram selama dua minggu. Dalam proses pemeraman tanah ini harus di siram setiap pagi sore. Tanah ini di giling memakai kaki atau tangan dan di peram lagi selama dua malam lalu proses pembuatan periuk,mangkok,senduk,gelas dll.

Setelah membentuk sebuah periuk dibilas lagi memakai air dan secabik kain untuk memperhalus bentuk dari sebuah periuk dan di jemur satu atau dua minggu lamanya di Matahari. Dalam proses penjemuran juga harus di jaga jangan sampai ada yang retak atau goresan dari binatang peliharaan. Jika ada yang retak atau ada goresan harus cepat-cepat di bilasnya dengan secabik kain basah jika masih mungkin untuk dibilas,sebab kalau tanahnya sudah mengering sedikit susah untuk membilasnya. Setelah benar-benar kering lalu dibakar dengan memakai bambu kering atau pelepah kelapa kering sampai benar-benar mengeluarkan warna merah dan mengeluarkan bunyi yang nyaring jika menyentuhnya dengan jari tangan kita.

Adapun larangan-larangan pada saat mengambil Tanah ini yaitu; Menggalinnya tidak boleh memakai alat jenis besi, Pada saat menggali tidak boleh mengeluarkan angin melalui anus(Kentut), tidak boleh batuk, dan tidak bole berbicara kotor jika ada teman di samping kita dan membawahnya pun harus memakai bakul atau keranjang dari jenis daun-daunan.

Mengapa peraturan ini dibuat supaya pada proses pembuatannya nanti tidak ada yang retak atau pecah. Kalau ada yang tidak mengikuti peraturan diatas maka sia-sialah dalam pembuatannya akan pecah atau tidak jadi sama sekali. Nilai penjualan dari sebuah periuk tanah ini tidak sebanding dengan tenaga atau waktu dari sipembuat. Per buah kira-kira mencapai 5000 rupiah tergantung jenis dan ukurannya.

Adapun keuntungan jika kita memasak dari periuk tanah ini yaitu; Jika menanak nasi menimbulkan rasa gurih atau mengeluarkan bau harum yang sangat natural dari jenis beras atau jagung tersebut dan tidak menimbulkan hangus atau berbentuk kerak. Begitupun jika memasak sayur.

Masih banyak Masyarakat di kampung yang sampai saat ini menggunakan Alat Traditional diatas. Jika ada orang yang menarik dengan pembuatan periuk dari Tanah Merah yang seperti di atas, bisa saja langsung mengunjungi kampung tersebut dan yang menarik dengan Traditional Dancing harus menunggu waktu acara dibuatnya.