Minggu, 08 Maret 2009

Nenek Moyang Danau Ranamese dan Ritual Penti

GOLORENTUNG

Bagi masyarakat Desa Gololoni, terutama Kampung Lerang, di Dusun Ajang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ritual penti atau syukuran tahunan tak pernah mereka lewatkan. Acara ini biasanya dilangsungkan di Kampung Lerang.

Kepercayaan itu mereka pegang teguh hingga saat ini, bahkan mereka tak berani mengabaikannya. Jika lalai, menurut keyakinan mereka, dampaknya terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti hasil panen yang mengecewakan.

Desa Gololoni dihuni oleh 536 keluarga atau 2.536 jiwa. Penghasilan utama warga desa adalah kopi. Selain itu, mereka juga memiliki perkebunan vanili, cengkeh, termasuk padi sawah.

Desa Gololoni terletak sekitar 25 kilometer dari Ruteng. Desa ini terdiri atas tiga dusun, yaitu Ajang, Wakas, dan Wodo. Tahun ini warga desa menjalankan ritual penti pada 14 Agustus lalu. Pesta adat penti secara rutin diselenggarakan antara Juli, Agustus, dan September, atau sebelum bulan penutupan tahun.

"Dipilihnya penti di antara bulan tujuh, delapan, atau sembilan karena warga memercayai pada bulan-bulan itulah keberhasilan pada tahun yang mendatang ditentukan. Ini karena hakikatnya penti sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur atas hasil panen yang telah kami nikmati. Selain itu, juga memohon keberhasilan panen di tahun mendatang," papar Ketua Adat Kampung Lerang Petrus Sap di mbaru tembong (rumah adat).

Tradisi penti juga mencerminkan sikap bersyukur manusia kepada Tuhan atau wujud tertinggi (mori keraeng), penghormatan terhadap leluhur (empo), alam, juga sesama manusia.

Nenek moyang

Makna ritual penti bagi warga Desa Gololoni memiliki keterkaitan dengan kepercayaan mereka terhadap nenek moyang yang tinggal di kawasan Danau Ranamese yang terletak sekitar lima kilometer dari Kampung Lerang.

Konon, pada zaman dahulu diyakini terdapat dua danau yang dihuni makhluk halus. Kedua danau itu adalah Danau Ranamese (danau kecil) dan Danau Ranahenbok (danau besar) yang terletak di Desa Golorutuk.

Penghuni Danau Ranamese suatu saat hendak berburu babi hutan. Namun, buruannya terbunuh lebih dahulu ketika manusia melakukan penebangan pohon untuk mencari kayu. Babi hutan, menurut pandangan roh halus, adalah tikus (munggis) yang dianggap tak berarti oleh manusia.

Roh halus menilai manusia telah mencuri buruannya. Namun, mereka akhirnya bisa berdamai dan tikus yang bersangkutan diserahkan kepada penghuni Danau Ranamese. Manusia juga berjanji, suatu saat akan memberikan pertolongan untuk menebus kelalaian yang dilakukan itu.

Suatu ketika terjadi peperangan antara penghuni Danau Ranamese dan penghuni Danau Ranahenbok. Makhluk halus penghuni Danau Ranahenbok ingin menguasai Ranamese. Penghuni Ranamese nyaris kalah karena jumlah lawan lebih banyak dan terlalu tangguh. Penghuni Ranamese lalu meminta bantuan kepada manusia.

Manusia yang telah bersahabat dengan penghuni Danau Ranamese dengan mudah dapat mengalahkan makhluk halus Ranahenbok karena senjata yang digunakan pihak Ranahenbok adalah belut, yang dengan mudah ditebas dengan parang.

Kekalahan penghuni Danau Ranahenbok akhirnya dibayar dengan menukar Danau Ranamese menjadi lebih luas. Legenda itu dipercaya dan diyakini betul hingga saat ini, dan manusia dalam legenda tersebut diyakini merupakan nenek moyang warga Desa Gololoni. Selain itu, banyaknya belut di kawasan Danau Ranamese juga diyakini warga sebagai akibat dari perang pada masa lalu itu.

Mengundang arwah

Dalam syukuran penti, warga tak lupa mengundang arwah nenek moyang di Danau Ranamese untuk datang ke Kampung Lerang. Wakil atau utusan dari Kampung Lerang akan menyampaikan undangan itu dengan cara memberikan sesajian berupa ayam merah yang disembelih di tempat sesaji Batu Naga, di salah satu tepi danau.

Tidak itu saja, warga sendiri melakukan barong lodok dan barong wae. Barong lodok adalah memberikan sesaji berupa seekor ayam untuk mengundang arwah para leluhur yang tinggal di lahan atau ladang mereka, sedangkan barong wae mengundang arwah leluhur yang tinggal di sumber mata air, yang airnya digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, ataupun untuk mengairi kebun dan sawah mereka.

Utusan Kampung Lerang bersama arwah nenek moyang, baik dari Danau Ranamese, areal persawahan, maupun mata air, serta Naga Golo yang merupakan pintu gerbang sebelum masuk Kampung Lerang, akan disambut di compang, tempat sesaji yang terletak di tengah-tengah kampung. Letak compang itu sekitar 200 meter dari rumah adat, tempat berlangsungnya acara puncak penti.

Compang di Kampung Lerang persisnya di salah satu batang pohon yang ada di tengah kampung. Di bawah pohon itulah disusun semacam meja persembahan atau sesaji dari tumpukan tanah dan batu.

"Di compang ini para utusan bersama arwah nenek moyang diterima warga, dan sebagai tanda penyambutan mereka diberi tuak dan ayam. Setelah itu, barulah semua masuk bersama-sama ke dalam rumah adat," ungkap Petrus Sap.

Sebelum memasuki acara inti penti pada malam hari, pagi hingga sore hari itu juga digelar tarian caci, semacam tarian saling mencambuki antarlaki-laki. Tarian tersebut dapat dilakukan secara bergantian oleh warga yang berminat.

Dalam tari caci itu biasanya tampil dua orang. Seorang membawa tameng (nggiling) yang terbuat dari kulit kerbau, seorang lainnya membawa larik, kalus, atau cambuk. Mereka menggunakan alat-alat tarian itu secara bergantian.

Jika tidak tangkas dan hati-hati, pihak yang mendapat kesempatan diserang bisa mengalami luka serius, bahkan pada kasus-kasus tertentu sampai menimbulkan korban jiwa. Mereka yang tampil dalam tarian caci mengenakan atribut khas, antara lain celana panjang putih yang dibalut dengan kain tenun hitam. Selain itu, di bagian kepala dipasang panggal (yang menutup bagian dahi). Bentuk panggal tersebut segi empat ke atas, dan di kedua sisinya terdapat bentuk menyerupai tanduk kerbau yang dihiasi bulu binatang.

Tarian itu diiringi alunan musik khas dari tabuhan gendang dan gong. Gendang yang dipakai itu pun bukan gendang sembarangan, tetapi gendang yang sehari-harinya disimpan di rumah adat. Menurut keyakinan warga, jika irama gendang, yang selama tarian caci berlangsung ditabuh oleh ibu-ibu itu semakin kuat, tarian pun akan semakin semarak.

Rumah adat Kampung Lerang memiliki tiga gendang tradisional yang terbuat dari kulit kambing. Usia gendang diperkirakan sudah ratusan tahun. "Di acara inti pada malam hari akan dilakukan renge ela, upacara pemotongan babi. Setelah itu, hang helang (makan bersama)," .