Minggu, 10 Mei 2009

Memahami Alam Pikiran Tradisional Orang Manggarai

Paham-paham personal pun kolektif yang mencuat ke permukaan dari suatu masyarakat merupakan buah dari penghayatan interaksi dan sosialisasi. Bila ditilik dari perspektif fenomenologi mod­ern, setiap pengalaman yang ada pada manusia (masyarakat) selalu merupakan eksteriorisasi dari sebuah pengalaman tentang sesuatu. Sesuatu yang merupakan isi dari pengalaman itu bisa berupa interaksi antar-persona, juga interaksi persona dengan lingkun­gan, tradisi dan adat-istiadat yang merupakan dimensi-dimensi yang melingkupi adanya (masyarakat etnis) manusia.

Secara eksternal, hal-hal yang menyangkut pola laku, sikap dan cara pandang merupakan ekspresi paling real dari terbentukn­ya kepribadian manusia. Pada aras komunitas etnis, keterkaitan antar-pribadi memberi warna khas yang membedakan satu kelompok masyarakat etnis dengan kelompok masyarakat etnis yang lainnya. Inilah yang dalam termin antropologi budaya disebut suku bangsa, atau ras. Rasa keterkaitan yang intim dalam kelompok ras menjadi titik tumpu lahirnya karakter khas dan eksklusif tertentu pada orang-orang dari daerah asal yang sama ketika mereka berada dalam satu masyarakat multikultural (masyarakat kota). Namun demikian, eksklusivitas itu tidak boleh dipandang sebagai tanda larang untuk satu interaksi lintas kultural yang baru. Justru dengan kesadaran akan diferensiasi itulah ciri dinamis eksisten­si manusia diaktualisasikan. Manusia sanggup beradaptasi bahkan merupakan ciptaan Allah yang memiliki derajat kesanggupan "penyesuaian diri" paling tinggi.

Demikianlah, untuk memahami kepribadian masyarakat etnis yang termuat dalam sikap dan pola pikir maupun cara pandang orang tertentu semestinya tidak boleh secara subjektif-relatif ditakar berdasarkan situasi aktualnya saja di tempat mana ia hidup dan berinteraksi. Setiap proses, dalam hal ini interaksi sosial lintas kultural manusia, dalam bingkai inklusif masyarakat di mana hidup orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda-beda, selalu berdimensi ganda. Di satu sisi, ada kuali­tas-kualitas tertentu yang akan lenyap atau berubah (misalnya sifat ekslusif), dan di sisi lain, ada unsur-unsur yang tetap (kekhasan alam pikiran) yang tidak berubah. Dari perspektif ini, kembali harus ditegaskan bahwa untuk menilai (jati diri) orang tertentu harus disertai pertimbangan mengenai latar belakang etnis-primordial dari mana orang itu datang. Hanya dengan ker­angka itu, kita memiliki pegangan yang cukup objektif dan pema­haman yang komperehensif mengapa orang-orang dari setting budaya yang sama memiliki karakater tertentu yang relatif sama, misa­lnya bertemperamen halus, lemah, sopan, atau bahkan kasar dan beringas.

Tulisan ini hendak melukiskan secara sedikit ilmiah, seka­lipun hanya sepintas saja, prihal "Orang Manggarai". Mengapa orang Manggarai memiliki sifat-sifat, pola pikir "begini" atau "begitu"? Apa sesungguhnya yang mereka hidupi dalam lingkungan primordialnya dan bagaimana hal-hal itu berpengaruh terhadap masyarakat maupun individu-individu yang lahir dalam bingkai masyarakat etnis Manggarai itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik tumpu refleksi penulis. Tentu saja simpul dari tulisan ini adalah pemahaman yang sedikit lebih komperehensif bahwa kemam­puan orang Manggarai untuk mengungkapkan diri tetap merupakan bukti keunggulannya sebagai manusia. Dan, unsur-unsur khas yang melekat pada "orang Manggarai" yang dihidupinya dalam komunitas plural dan inklusif mengungkapkan penghayatan emosionalnya yang mendalam akan pengalaman-pengalaman kulturalnya.

Alam Pikiran Orang Manggarai

Mengapa latar belakang falsafah (alam pikiran) penting ditelaah? Karena trend umum bahwa kajian filosofis-antropologis merupakan satu studi yang aktual dan relevan saja? Jawaban yang boleh mengemuka untuk persoalan di atas adalah "barangkali". Paling kurang ada dua pertimbangan penting mengapa dikatakan "barangkali" ketika saya berhadapan dengan persoalan seperti ini. Pertama, kenyataan plural realitas etnis di negara kita merupakan satu "kekuatan" serentak "bahaya". Pluralitas etnis menjadi kekuatan jika dimengerti dan dipahami tidak terlepas dari konteks orisinalitas eksistensi suatu masyarakat etnis untuk selanjutnya dihargai sebagai potensi produktif bagi kese­jahteraan dan kebanggaan hidup sebagai bangsa Indonesia. Akan tetapi di sisi lain, kemajemukan dapat menjadi sumber api berba­haya bila spirit primordialisme etnis dan cara pandang antar-etnis dibiarkan berkembang stereotipe tanpa pengelolaan yang matang. Dari dalam situasi ini, hanya akan muncul rasa saling curiga, tidak saling menghargai kekhasan budaya dan adat-istia­dat, arogansi etnis-kultural, dst. yang justru merupakan pemicu bagi merusak dan merenggangnya komunikasi inter-sosio-kultural sebagai satu bangsa. Jadi, usaha mendalami alam pikiran masyarakat etnis tertentu, dalam hal ini kelompok etnis Manggarai, berguna untuk membina kedewasaan relasi antar-masyarakat etnis dalam lingkup sosial yang lebih luas.

Kedua, alam pikiran suatu kelompok masyarakat etnis terten­tu, meskipun tidak selalu berciri ilmiah-sistematis, sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu sosio-antropologi. Dan, dalam konteks hidup bernegara, menyadarkan setiap warga negara untuk senantiasa menaruh hormat terhadap nilai-nilai pluralitas. Kesadaran yang sama turut memacu kematangan hidup sebagai bangsa yang demokratis. Memahami falsafah hidup, juga turut menyadarkan kita mengenai jati diri kebudayaan kita masing-masing. Itu berarti, "kesadaran" selalu merupakan sumber cahaya yang menumbuhkan kuncup-kuncup semangat untuk, meminjam kata-kata Abraham Maslow, mengaktualisasikan diri. Apa artinya bertanya: mengapa orang Manggarai memiliki kebiasaan dan sikap "begini" atau "begitu"?, jikalau hal itu tidak menghantar kita kepada kejernihan kesadar­an dan penemuan jati diri sendiri di tengah realitas sosio-kultural yang serbaneka ini?

Kebersamaan dan Orang Lain

Sejak manusia lahir dari rahim ibunya, ia tidak pernah hidup sebatang kara. Walaupun karena kerapuhan insaninya, mas­ing-msing orang cenderung untuk membebaskan diri dari ikatan sosial-kultural. Tuntutan hidup bersama ini mendorong orang tua-tua dulu harus berpikir dan mencari syarat-syarat dasarnya. Kesadaran itu terungkap misalnya dalam cara orang tua secara turun temurun menegur anaknya yang mengabaikan aturan hidup bersama. "Nana di'a-di'a bantang agu hae ata, calung-calung gauk agu hae wa'u, ai landing le mangad ase ka'e do; ai ite tara manga ranga'd one lino hoo. Toe le bengkar one mai belang. Ite hoo manga taung kuni agu kalo'd mose'd. Maik tara manga dite ai le manga dise Ende agu Ema, Ase agu Ka'e." (Terjemahan bebasnya: Anak, bekerja samalah yang baik dengan orang lain, juga berlaku baik terhadap famili. Keberadaan kita di atas muka bumi bukan sesuatu yang terlempar begitu saja seolah-olah dari rumpun buluh atau ada karena sesuatu yang ajaib. Kita ada karena orang lain ada, karena ada Ayah dan Ibu serta Saudara dan Saudari). Kiasan yang paling ditekankan dalam rentetan kata di atas adalah frase "bengkar one mai belang". Kata "bengkar" dalam bahasa Manggarai sinonim dengan kata "pecak". Keduanya mempunyai arti yang kira-kira sama, yaitu "menetas". "Belang" adalah genus bambu-bambuan, bambu yang pipih atau tipis atau lebih tepat semacam "buluh" untuk membuat seruling bambu. Jadi, seluruh frase "bengkar one belang" secara harafiah-etimologis berarti: menetas dari dalam bambu.

Dari terjemahan sederhana itu, tampak bahwa kata-kata itu tidak bermakna. Akan tetapi dalam tradisi, penggunaan kiasan itu sekurang-kurangnya menyiratkan tiga arti: pertama, mematahkan dongeng kuno (kepercayaan mitis-magis) di Manggarai yang berpan­dangan bahwa ada manusia yang pernah lahir dari rumpun bambu. Tentu saja dengan makin berkembangnya kesadaran dan pengaruh unsur-unsur kebudayaan luar (Goa dan Bima) yang masuk ke Manggarai, maka keyakinan itu sedikit demi sedikit memudar sampai disadari sebagai kepercayaan yang sia-sia (pengaruh masuknya agama-agama mondial). Kedua, kata-kata itu juga merupakan suatu petuah yang senantiasa diungkapkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa dan mandiri. Mereka selalu dinasehati untuk tidak melupakan "kuni agu kalo", kampung halaman, terutama orang tua dan sanak keluarga, kalau mereka sudah tinggal terpisah dari orang tua. Ketiga, ungkapan yang sama selalu memberi warna bagi cara menyampaikan sesuatu secara khas lewat bahasa-bahasa kiasan-alegoris.

Tradisi komunikasi adat di Manggarai merupakan semacam spiral yang berputar-putar dan berbelit-belit, tapi maksudnya yang sebenarnya hanya sedi­kit. Sekali pun secara rasional, penggunaan bahasa yang demikian sama sekali tidak efektif dalam komunikasi, tapi toh hal itu sudah dihidupi secara inheren. Tidak mengherankan jika ada kebiasaan orang-orang tua di pedesaan yang bila bertamu, pembi­caraannya akan memakan waktu berjam-jam. Tapi maksud yang sebe­narnya akan dia ungkapkan ketika si tamu hendak beranjak pulang.Misalnya ia datang untuk "meminjam barang tertentu" atau "mengajak tuan rumah untuk menghadiri suatu kegiatan tertentu", dll. Dengan demikian, terlihat bahwa ada sekian banyak interpre­tasi yang dapat kita berikan berhadapan dengan kiasan atau "go'et" yang dibahasakan secara halus (eufemistis).

Selain itu, dalam tradisi juga sudah ada pertanyaan menge­nai makna dan tujuan hidup bersama, yakni dambaan untuk hidup tentram, damai dan selaras dengan apa yang dihidupi oleh masyar­akat. Dalam hal kerja sama sosial, terdapat ungkapan "Reje le­leng, bantang cama (berembuk secara bersama dan laksanakan pula secara bersama, atau hidup saling membantu). Kata-kata ini mengekspresikan adanya nilai-nilai "kesalingan dalam kebersa­maan" dalam hal menyelesaikan tugas bersama, memenuhi kebutuhan hidup, termasuk bagaimana orang-orang berembuk dalam rencana menyelesaikan pekerjaan berat atau urusan masalah adat yang mengharuskan keterlibatan keluarga besar. Menurut orang Manggar­ai, oleh cara demikian, setiap manusia dalam satu masyarakat dapat melibatkan diri secara bertanggung jawab dalam mengusaha­kan hidup bersama yang sejahtera penuh kedamaian.

Dalam kerangka hidup bersama, pelukisan di atas tidak berarti Orang Manggarai mengabaikan personalitas. Seorang priba­di, menurut cara pandang mereka, memiliki tempat tertentu di dalam lingkup sosial. Walaupun secara tradisional pandangan-pandangan patriarkis dan diskriminatif masih ada. Misalnya ada perlakuan yang berbeda-beda terhadap pribadi-pribadi bergantung pada atribut yang melekat pada mereka. Dengan demikian sepintas terlihat bahwa perlakuan terhadap pribadi-pribadi sangat bergan­tung pada atribut-atribut atau status sosial yang melekat dalam diri orang itu. Sekalipun demikian, jati diri seseorang tetap ditonjolkan dalam kebersamaan. Orang Manggarai tetap berkeyaki­nan bahwa setiap orang memiliki kekhasan-kekhasan individual. Nama, misalnya, merupakan sesuatu yang sangat pribadi. Dalam banyak hal, nama merupakan simbol tunggal, hanya mewakili priba­di yang bersangkutan. Dan karena itu, pemberian nama semata-mata ditentukan menurut "selera" pemberi nama, tanpa ikatan marga. Hal ini menjadi alasan yang mungkin mengapa orang Manggarai "seolah-olah" diberi nama sesuka hati. Masing-masing anak dari orang tua yang sama diberi nama belakang yang berbeda-beda (bdk. Frans Borgias, 1990, hlm. 180-189).

Selain itu tradisi masyarakat sudah memiliki pandangan yang positif terhadap keberadaan seseorang. Manusia adalah ciptaan yang patut disyukuri dan dihargai. Sehubungan dengan itu, para orang tua tidak begitu saja larut dalam perasaan kecewa karena melahirkan anak-anak yang tidak sesuai dengan ideal mereka, bertingkah laku dan sikap anak yang berlawanan dengan harapan orang tua. Mereka tetap menaruh kasih pada anak-anak mereka. Sebuah penggalan syair lagu Manggarai klasik "Oe Inang, Oe Amang" berbunyi demikian: Am daatn'e, tama mangan'e; Am nenin'e, tama wekin'e (biar buruk rupanya, yang penting dia ada; biar kulitnya hitam yang penting ia berbadan). Dari penggalan lagu ini terlihat bahwa hormat terhadap keberadaan manusia merupakan suatu keharusan justru karena ia ada dan hadir di tengah masyar­akat (keluarga).

"Keunggualan hidup" pribadi mendapat tempat yang positif dan senantiasa diperjuangkan sebagai satu ideal. Setiap anak oleh orang tuanya dinasehati untuk memiliki persiapan bagi masa depan yang baik. Secara parabolis dikatakan agar seseorang senantiasa hidup seperti pohon yang kokoh: "Wake caler ngger wa, saung bembang ngger eta." (Berakar kuat ke dalam tanah, dan berdaun rimbun). Ini mengisyaratkan suatu perjuangan hidup yang sungguh-sungguh. Kesungguhan itu harus tampak dalam kematangan sikap hidup, pola pikir dan tutur kata, juga memiliki rasa tanggung jawab baik secara horisontal maupun vertikal.

Sketsa Mengenai Cara Mengenal yang Abstrak

Dari kuliah epistemologi, kita memahami abstraksi sebagai aktivitas budi manusia yang normal di mana kesadaran manusia mampu menarik citra dari suatu objek sekalipun objek itu secara real tidak hadir di hadapan si subjek. Kesanggupan itu rupanya sudah dikenal dalam tradisi hidup Orang Manggarai. Hal itu terlihat misalnya dari cara mereka membahasakan realitas semes­ta. Di sana secara sederhana sudah ada kesanggupan yang melekat dalam diri oarang tua-tua zaman lampau untuk menarik pemahaman sederhana dari benda-benda yang dilihatnya. Hal paling mencolok di sini biasanya tampak dalam gaya pengungkapan yang kaya dengan personifikasi-personifikasi, termasuk juga kiasan-kissan parabo­lis tertentu yang mencoba menarik garis penghubung yang melukis­kan kedekatan makhluk manusia dengan makhluk-makhluk dan reali­tas alam sekitarnya.

Dalam kaitannya dengan usaha menjadi manu­sia ideal, orang tua-tua menggunakan kiasan berikut: "lankas haeng ntala; agu uwa haeng wulang (agar tinggi menggapai bintang dan bertumbuh menggapai bulan). Kata-kata ini dapat ditafsirkan sebagai suatu dorongan kepada anak-anak dan generasi muda untuk memupuk diri menjadi manusia ideal. Sebab itu, meskipun seseor­ang tidak melihat suatu benda pada saat tertentu, dia bisa memiliki pengertian tentang benda itu. "Teu ca ambo neka woleng jangkong, muku ce puu neka woleng curup" (Tebu serumpun jangan beda bicara, pisang sepohon janganlah berbeda tutur kata). Ungkapan itu menyiratkan personifikasi di mana benda-benda yang disebutkan tidak hadir secara real atau dilukiskan seperti manusia. Namun demikian biasanya konteksnya bisa dipahami.

Barangkali abstraksi sederhana inilah yang melatar belakan­gi mengapa maysarakat adat di Manggarai kaya dengan pengungkapan lisan yang berasal dari rentetan bunyi kata yang homofon yang disebut "go'et". Go'et sepintas kedengaran klise, tapi bila dipakai dalam ritus adat, maka go'et menjadi kata-kata manjur dengan pelbagai nuansa. Ia bisa menjadi sebuah lambang kesopanan serentak mengandung sindiran tidak langsung untuk lawan bicara. Tidak semua orang awam mampu menggunakan bahasa go'et secara baik. Go'et sering dipakai oleh sesepuh kampung (tu'a golo) atau oleh pembicara yang mewakili masing-masing keluarga mempelai pada upacara masuk minta (pongo wina) atau pada momen kesepakatan nikah atau tukar cincin secara adat (rekak agu tukar kila).

Catatan Akhir

Di samping hal-hal positif di atas, kerapkali terjadi bahwa apa yang diungkapkan dengan bahasa halus (segol), seperti kebia­saan orang-orang di desa-desa, berbanding terbalik dengan kenyataan yang bakal berjalan. Maka dalam hal memahami alam pikiran Orang Manggarai, "kebingungan" yang ditimbulkan oleh sikap dan tutur katanya dapat menjerat orang kepada misinterpretasi. Artinya, di satu sisi, dengan membahasakan sesuatu secara terba­lik, orang Manggarai langsung memahami pesan yang mau disampai­kan, yakni mengacu kepada etika sopan-santun terhadap lawan bicara. Akan tetapi di sisi lain, untuk orang yang tidak mengen­al baik kekhasan cara berpikir/sikap tersebut, maka hal itu justru menimbulkan salah paham. Satu ilustrasi kecil. Pengalaman awal seorang Pastor asal "Lamaholot" (Flores Timur) yang berkar­ya di pedalaman Manggarai. Mula-mula ia merasa sangat bingung dengan kebiasaan bertingkah laku dan gaya berbicara umatnya. Setiap kali ia mengatakan "begini" atau "begitu", maka umat (lawan bicaranya) selalu mengangguk dalam sambil mengatakan "io" (artinya ya). "Jika mereka diminta atau diperintahkan membuat sesuatu," demikian cerita sang pastor, "saya selalu mendapatkan jawaban "io" dengan anggukan mendalam. Tapi kenyataan setelahn­ya? "Sekian sering", cerita Pastor, "mereka tidak berbuat sesua­tu apa pun dari jawaban io mereka." Mengapa demikian? Pertanyaan sang Pastor sekali lagi menarik kita untuk melihat latar bela­kang hidup dan kebiasaan yang inheren pada setiap lapisan ma­syarakat Manggarai.

Bahwasannya, Orang Manggarai (orang-orang sederhana, yang ikatan adat mitis-magisnya masih kental) tidak mungkin mengatakan "tidak mau" atau "tidak suka" (toek, toe gori'g, toe ngoeng'g) kepada seseorang yang ia hormati, walaupun apa yang diminta orang itu daripadanya tidak sanggup ia lakukan atau bertetangan dengan pandangan atau pendapatnya. Bila ditelu­suri lebih dalam, maka ada satu hipotesa menarik yang kiranya mendekati objektif. Hipotesa dari catatan sejarah Paul Coolhas, sebagaimana ditulis oleh J. Verhejen SVD, bahwa secara bergan­tian, Manggarai takluk kepada Kerajaan Goa (Sulawesi Selatan) dan Bima (Sumbawa). Pada tahun 1661, untuk pertama kalinya, Manggarai tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Bima.

Sebagai kerajaan taklukan, maka raja Manggarai wajib membayar upeti kepada penakluknya. Demikian pula yang dilakukan terhadap pen­guasa dari Kerajaan Goa (bdk. F.Pantur, VOX 1994, hlm. 106-107). Sejak saat itu, sikap dan pola pandang orang manggarai adalah sikap dan pola pandang hamba terhadap tuannya. Sebagai hamba ia wajib untuk selalu mengatakan "io" kepada tuannya. Jika tidak demikian maka ia mungkin dihukum atau dibunuh.

Demikianlah sepintas refleksi penulis sehubungan dengan alam pikiran antropologis Orang Manggarai. Sepenuhnya penulis sadari, banyak aspek yang sama sekali tidak disinggung bila dibandingkan dengan luasnya ruang lingkup etnis, adat-istiadat orang Manggarai. Hal ini kiranya dapat dimaklumi oleh karena begitu terbatasnya referensi yang dimiliki penulis.

Apa yang tertuang dalam pikiran sederhana ini, lebih banyak merupakan hasil pengamatan sepintas dari penulis sendiri (selaku orang Manggarai) yang juga turut serta merasakan dan menghidupi adat-istiadat khas Manggarai. Pembahasan dan ekspresi literer ini memang sengaja dimodifikasi sekian sekedar untuk menonjolkan betapa pentingnya penelitian dan pengkajian sosio-antropologis dan kultural yang lebih mendalam akan khasanah hidup yang begitu kaya dari masyarakat adat kita. Akhirnya, penulis berharap tulisan ini berguna, sekurang-kurangnya menjadi ajang kebangki­tan kesadaran orang Manggarai untuk mengemukakan kritik atas tulisan ini.

Tidak ada komentar: