Minggu, 05 April 2009

Mencoba Lagi Menjadi Orang Manggarai

Menyebut Manggarai mengingatkan kita akan aroma kopi Manggarai yang tersohor.

Kopi merupakan produk unggulan dari daerah ini yang utamanya dihasilkan dari kawasan adat Colol, Kecamatan Poco Ranaka.

Kopi telah mencuatkan daerah ini sejak tahun 1937. Kopi dikembangkan pertama kali di Colol pada sekitar tahun 1920. Tak heran jika pada tahun 1937 para petani memperoleh penghargaan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemenang “Pertandingan Keboen Kopi Arabika”.

Di Negeri Merdeka Mereka Teraniaya

Brutalisme aparat negara atas petani dan masyarakat adat Indonesia kembali terjadi di bumi Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 10 Maret 2004. Aksi damai sekitar 120 orang petani Colol-Poco Ranaka dihadapi dengan represif aparat polisi. 6 orang[1] petani harus tewas, 28 orang luka tembak peluru tajam, serta puluhan lainnya babak belur dan sisanya ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai.

Peristiwa ini bukan yang pertama kalinya. Bukan pula peristiwa yang berdiri sendiri dan terjadi secara tiba-tiba. Tim Advokasi untuk Rakyat Manggarai (TARM) mencatat bahwa tindakan biadab dan pelanggaran Hak Asasi Manusia ini bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2002 Bupati Manggarai Antony Bagul Dagur melalui Surat Instruksi Nomor: DK.522.11/1134/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002, telah menginstruksikan untuk melakukan operasi gabungan di kawasan Register Tata Kehutanan (RTK) 111 Meler-Kuwus sejak Oktober 2002-Oktober 2003, dengan melibatkan aparat Mapolres Manggarai, Kodim 1612/Ruteng, Polisi Kehutanan, Polisi Pamong Praja, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Kejaksaan Negeri Ruteng aparat Kecamatan terkait termasuk preman bayaran,.

Operasi digelar dengan cara memusnahkan semua tanaman produktif milik petani (utamanya kopi), serta menangkap serta menyiksa para petani dan masyarakat adat. Dalam operasi ini di kawasan RTK 111 ini, 20 orang petani ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai. Selanjutnya, operasi penangkapan petani pertama dilakukan pada tanggal 14-15 Mei 2003 di kawasan eks tanah erpacht Reo di kawasan Gendang (kampung) Mahima. 71 orang petani terdiri dari 56 laki-laki dan 15 orang perempuan ditangkap lalu ditahan di Mapolres Manggarai.

Belum puas dengan 91 orang petani yang sudah ditangkap, pada 29-30 Juni 2003 sejumlah 29 orang petani dari kampung Salama, Reok ditangkap lalu ditahan. Operasi pembabatan tanaman kopi dan tanaman produktif lainnya terus berlangsung di wilayah RTK 118 Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng di kawasan Colol, Kecamatan Poco Ranaka hingga Oktober-Desember 2003. Perlawanan komunitas adat Colol yang dilakukan secara damai mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya terus dihadapi dengan tindak kekerasan dan operasi penangkapan. Teror, kekerasan dan penjarahan hasil-hasil pertanian petani, turut menjadi catatan penting dalam gelar operasi yang oleh Tim Terpadu ditargetkan akan dilakukan pada wilayah seluas 86.556.93 ha.

Disamping itu pada tanggal 9 Maret 2004, 7 orang petani terdiri dari 4 orang perempuan dan 3 orang laki-laki ditangkap saat berladang di kawasan Desa Rendenao oleh satuan Tim Terpadu yang dipimpin langsung oleh Bupati Antony Bagul Dagur, kemudian para petani diserahkan pada polisi untuk ditahan di Mapolres Manggarai.

Alasan Bupati Manggarai dan aparat terkait, seluruh operasi dilaksanakan untuk mengamankan kawasan hutan lindung yang didasarkan pada:

a. Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan;

b. Perjanjian kerjasama antara Departemen Kehutanan, POLRI dan TNI Nomor: 09/Dj-IV/LH/2002 Tentang Penyelenggaraan Operasi Pengamanan Hutan, Kawasan dan Hasil-hasil Hutan;

c. SK Gubernur NTT No.64/1996 Tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Propinsi NTT;

d. SK Bupati Nomor: Pb.188.45/27/VI/2002 tentang Pembentukan Tim Terpadu Tingkat Kabupaten Manggarai dalam Rangka Penertiban dan Pengamanan Hutan Manggarai.

Dampak Operasi

Ratusan kepala keluarga (KK) petani dan masyarakat adat harus terusir dari tanah leluhurnya, serta terancam kemiskinan struktural akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan mereka. Tak kurang dari 154 orang petani telah ditahan dan dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Ruteng—dalam gelar operasi tanpa kemanusiaan ini. Ribuan anak-anak petani harus rela putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk menikmati masa depan dan suasana hidup yang damai dan berkeadilan. Mereka semua terancam kelaparan massal. Kebanggaan mereka untuk menjadi Orang Manggarai--dengan kopi-nya yang terkenal serta kedalaman tradisi nenek moyang yang terjaga turun temurun--pupus sudah. Luluh-lantah demi kepentingan sang penguasa yang lalim.

Sebuah potret buram dari penerapan kebijakan agraria dan sumberdaya alam yang lagi-lagi masih tidak memihak kepentingan rakyat (kaum tani dan masyarakat adat). Operasi kehutanan di era otonomi daerah yang masih saja mengatasnamakan kepentingan konservasi—namun menistakan kuasa Rakyat!

Kondisi Saat Ini

Orang Manggarai—para korban operasi—saat ini terus berjuang merebut dan mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya melalui wadah Serikat Petani Manggarai (SPM). Organisasi Rakyat Kaum Tani dan Masyarakat Adat yang dideklarasikan pada Hari Tani 24 September 2004 di Ruteng, oleh 35 komunitas adat dan organisasi tani lokal. Tekad mereka sudah bulat. Ketidakadilan ini harus dilawan.

Mereka, mencoba lagi menatap masa depan negerinya dengan ungkapan bahasa sederhana:

…mencoba (lagi) menjadi Orang Manggarai…

Tidak ada komentar: