Jumat, 09 Januari 2009

israel-palestine/indonesia/berperang terus

Sejak Sabtu 27 Desember 2008, sekitar 100 pesawat Israel menyerang 230 target di Palestina mengakibatkan 280 orang tewas dan setidaknya 600 orang terluka.
Serangan Israel tersebut mendapatkan banyak reaksi dari berbagai golongan masyarakat Indonesia. Jusuf Kalla membacakan Al Fatihah untuk para korban, Sutrisno Bachir mengutuki Israel supaya cepat masuk neraka, Menkes Indonesia akan segera mengirimkan bantuan berupa obat-obatan senilai Rp. 2 Miliar, FPI membuka posko mujahidin ke Palestina, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menginstruksikan para calegnya untuk menyisihkan sebagian dana kampanyenya untuk disumbangkan ke Palestina.
(Sumber:detik.com, minggu 29 Desember 2008)

Mungkin, memang benar Israel terlalu keji melakukan penyerangan, atau mungkin juga benar kata Bush bahwa serangan Israel memang pantas untuk dilakukan, namun bukan penyerangan atas Palestina yang akan saya bahas di sini, tapi reaksi-reaksi yang timbul di negara kita.
Ada beberapa reaksi yang cukup menggelikan, bagi saya, yakni reaksi JK dan Sutrisno Bachir (SB). Reaksi kedua orang tadi cukup aneh karena terlihat seakan-akan peduli namun sebenarnya entah peduli atau tidak. Mereka berdua mengecam Israel dan mendoakan Palestina, sebuah bentuk dukungan kepada Palestina yang paling murah, mudah, dan terpuji menurut orang banyak. Saya tidak bermaksud menafikkan nilai spiritual dari sebuah kutuk ataupun doa, namun, saya kira bom yang dikirimkan dari Israel itu tidak dalam bentuk spiritual, dan orang-orang yang terluka pun tidak terluka secara spiritual (mungkin iya bagi beberapa orang), namun secara fisik. Mungkin saja iman para petinggi partai politik tadi cukup besar jadi cukup dengan berdoa saja sudah bisa memindahkan gunung. Sebenarnya reaksi seperti ini sudah pernah terjadi saat kerusuhan Mei 1998 yang lalu. Waktu itu Habibie mengecam dan mengutuki para pelaku kekerasan fisik dan seksual pada kerusuhan tersebut, namun dari hasil konggres Komnas Perempuan pada tanggal 23 Mei 2008 yang lalu, tidak ada reaksi kongkrit dari pemerintah dalam membawa pelecehan dan kekerasan tersebut pada proses hukum.
Apakah cukup kutuk dan doa mengangkat kembali nilai HAM? Mungkin hukuman mati bagi para pelaku pun tidak pernah cukup juga untuk menebus kesedihan para korban. Apakah benar kutuk dan doa tadi sebagai wujud kepedulian atau jangan-jangan hanya sebagai alat penarik simpati rakyat? Apalagi di Indonesia ini, nilai spiritual seringkali digaungkan sebagai nilai paling terhormat. Bagaimana jika posisinya dibalik, misalnya anak dan istri JK dan SB terbunuh dalam satu serangan militer, dan yang pemerintah Indonesia lakukan adalah menggelar doa akbar bersama yang diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia, yang isinya mengutuki pelaku dan mendoakan korban, apakah mereka akan merasa cukup tanpa harus menculik ataupun menenggelamkan para pelaku? Kutuk dan doa mungkin memang memang berguna (bagi mereka yang percaya) tapi mungkin, bagi para korban, bentuk kepedulian hanya dengan kutuk dan doa hanya seperti tai kucing yang dilemparkan ke muka mereka.

Reaksi yang lain adalah bentuk-bentuk bantuan berupa materi yang dikirimkan oleh berbagai pihak, bahkan FPI mengirimkan bantuan berupa target baru bagi Israel. Mungkin memang bantuan dalam bentuk materi jauh lebih logis untuk meringankan beban dan menunjukkan kepedulian, bahkan tidak semua orang berani mengorbankan harta pribadi untuk orang lain. Namun, sayang sekali pemberian bantuan tersebut diberikan pada pihak yang nun jauh di sana, sementara lebih banyak orang di sekitarnya yang juga membutuhkan bantuan. Sebagai gambaran, korban di Palestina ada sekitar 880an orang, sementara di Sidoarjo, ada ribuan berkas tanah, 8.157 berkas yang belum selesai dikerjakan dan 4.729 berkas yang tidak dapat dilakukan pengurusan, yang belum jelas nasibnya, belum lagi menghitung 19,1 juta keluarga miskin yang tercatat menerima BLT. Jangan-jangan, memang demikian watak beberapa orang-orang di Indonesia, inginnya membantu banyak orang meski harus mengacuhkan derita orang-orang terdekat, seperti para mahasiswa yang suka demo namun tidak lulus-lulus. Mungkin saja, mereka-mereka itu sangat sosialis, yang penting orang lain tidak tenggelam, sementara keluarga sendiri sudah dimakan buaya.
Tulisan ini hanyalah sebuah uraian dari fakta-fakta yang dianalisa oleh selera subjektif saya, kalau tidak setuju, silahkan saja, asal jangan didoakan atau dikutuki, tapi diberikan komentar, kritik atau apapun yang bisa ditampilkan di website ini, Kalau cuma mau berdoa dan mengutuk kenapa sampai sini, masuk kamarlah dan tutup pintunya!

Tidak ada komentar: