Sabtu, 10 Januari 2009

Kampung Kobok di Manggarai dan Budaya Raga Kaba

Kobok adalah nama salah satu kampung di Desa Rongga Koe, Kecamatan Kota Komba. Daerah dengan kampung induk bernama Waerana itu adalah kampung tua yang tumbuh di sebelah timur bagian selatan Kabupaten Manggarai di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kobok atau Waerana letaknya sekitar 80 kilometer dari Ruteng, kota Kabupaten Manggarai.

Kondisi jalan Ruteng- Waerana relatif mulus. Jalan itu adalah bagian dari lintas Flores yang berstatus sebagai jalan negara. Namun, kondisi jalan selebihnya sangat kontras. Sejak lepas dari lintas Flores dan memasuki persimpangan menuju Kobok, kendaraan harus berjalan sangat pelan. Dari satu persimpangan, persisnya di samping kiri Kantor Desa Rongga Koe, hingga pusat Kampung Kobok yang jaraknya hanya sekitar 1,5 kilometer perjalanan dengan mobil membutuhkan waktu sekitar 25 menit. Jalan itu selain sempit, juga hanya berlapiskan susunan batu. Lebih memprihatinkan lagi, jalan tersebut berlubang-lubang karena sebagian susunan batunya sudah terbongkar dan batunya berserakan, membentuk onggokan di sana-sini.

Meski sempat menghadapi guncangan mendebarkan saat melewati jalan yang rusak berat tersebut, perasaan khawatir itu kemudian pulih dengan suguhan pemandangan hijau dan segar di sekitarnya. Pemandangan tersebut adalah pekarangan rumah atau kebun petani yang telah dipadati berbagai jenis tanaman, seperti kopi, kemiri, kakao, kelapa, dan umbi-umbian. “Di seluruh wilayah Desa Rongga Koe, termasuk Kobok, nyaris tidak ada lagi bagian lahan tandus atau lahan kosong. Seluruhnya sudah dipadati berbagai jenis tanaman yang sekaligus menyuguhkan pemandangan hijau,” kata Markus Maru, warga Kobok, yang sehari-hari bekerja sebagai guru di salah satu SD di kampungnya itu.

Hadiri ritual adat

Meski tergolong kampung yang tidak gampang dijangkau kendaraan bermotor, Kobok awal Juli lalu tiba-tiba menjadi riuh. Ribuan pengunjung dari kampung lain bahkan kabupaten tetangga seakan tumpah ke kampung itu. Mereka yang semuanya dalam ikatan keluarga datang dengan maksud sama: menghadiri “raga kaba”, ritual adat yang telah berusia tua namun tetap dianggap sakral dan ditaati para ahli warisnya.

Bagi kalangan masyarakat Manggarai umumnya, termasuk warga Kampung Kobok dan sekitarnya, raga kaba adalah rangkaian ritual sakral. Wujudnya berupa atraksi pembunuhan hewan kurban kerbau (kaba) dan juga babi yang diawali dengan tarian khusus bernama raga. Ritual itu sendiri diyakini sebagai upacara pelepasan arwah orangtua atau leluhur menghadap Mori Agu Ngaran (Pemilik Alam Semesta).

Budayawan Manggarai, Marcel Robot, melihat ada dua makna dari ritual raga kaba. Pertama, tarian raga kaba sebagai cara merayu atau mengundang Mori Agu Ngaran agar hadir sekaligus merestui pelaksanaan acara tersebut. Kedua, ritual ini merupakan cara khas yang menyimbolkan penyerahan diri secara total kepada Mori Agu Ngaran.

“Dua makna itulah yang menjadi inti dasar dari ritual adat raga kaba di Manggarai,” ujar Marcel Robot yang kini sedang menyelesaikan studi program doktor ilmu komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Khusus raga kaba di Kobok, 5-7 Juli 2006, penyelenggaranya adalah turunan suku Walan yang rumah adat induknya berpusat di kampung tersebut. Raga kaba kali ini khusus “melepas dan mengantar” kepergian empat arwah dari dua pasangan suami-istri, Silfanus Tarung/Clara Tenggi dan Titus Ngolong/Juliana Landang. Dari keempat tetua yang telah meninggal itu, Silfanus Tarung meninggal terakhir dalam usia sekitar 103 tahun, yakni pada 10 Juli 2004. Tiga lainnya telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Silfanus Tarung dan Titus Ngolong adalah kakak-beradik kandung.

Raga kaba bagi empat arwah itu ditandai dengan pemotongan enam hewan kurban utama, masing-masing tiga kerbau dan tiga babi. Seperti biasanya, ketiga kerbau sebelum dipotong dalam posisi berdiri, diikat pada tiang gantungan. Tiang gantungan itu sendiri dikenal bernama ngadhu oleh masyarakat setempat, khusus ditanam di halaman depan rumah adat. Di Manggarai bagian timur, tiang ngadhu biasanya terbuat dari jenis dadap berduri.

Sesuai dengan tradisinya, kerbau dalam ritual adat seperti ini menjadi tanggungan saudara perempuan atau anak/keturunan anak dari saudara perempuan, yang lazim disebut anak winar ulu.

Dalam raga kaba di Kobok kali ini juga disiapkan masing-masing satu kerbau untuk Tarung dan Ngolong, serta dua kerbau lainnya bagi Tenggi dan Landang.

Kerbau kurban bagi Tarung dan Ngolong disediakan Regina Tenggi, salah seorang saudara kandung perempuan kedua almarhum. Kerbau kurban untuk Clara Tenggi dan Juliana Landang menjadi tanggungan masing-masing anak-anak perempuan (yang sudah berkeluarga) dari kedua almarhumah.

Satu sumber

Mengapa hewan kurban untuk Tarung dan Ngolong hanya satu kerbau? Agustinus Amat, mewakili keluarga Walan di Kobok, menjelaskan, karena kedua tetua itu berasal dari satu sumber, yaitu suku Suka yang berpusat di Ranameti, kampung tetangga. Hewan kurban untuk Tenggi dan Landang juga masing-masing satu kerbau, tetapi hal ini karena sumbernya berbeda. Clara Tenggi berasal dari suku Lemok/Pejek (Lembur-desa tetangga) dan Jualiana Landang dari suku Wake (Golo Tolang, juga desa tetangga).

Tiga suku: Suka, Lemok/Pejek, dan Wake dalam konteks raga kaba di Kobok itu lazim disebut sebagai anak ranar ulu, yakni mereka yang berstatus saudara atau turunan anak lelaki utama. Dipastikan masing-masing seorang lelaki dari ketiga suku itu adalah yang paling berhak sebagai pemotong kerbau.

Anak ranar ulu tidak hanya berhak memotong kerbau, tetapi juga sekaligus menguasai daging atas hewan kurban itu. Ketiga kelompok anak ranar ulu tersebut ketika menghadiri ritual raga kaba pun membawa serta masing masing satu babi disertai beras dan selimut tenunan daerah (lipa songke).

Yang berhak memotong, dengan cara menikamnya dengan tombak, tiga babi bawaan anak ranar ulu adalah wakil utama dari anak winar ulu (penanggung kerbau kurban). Kelompok anak winar ini sekaligus berhak atas daging babi yang dipotongnya.

Atraksi raga kaba di Kobok, 5-7 Juli 2006, menurunkan 10 penari berpakaian khas Manggarai, bersama pedang atau parang di tangan. Mereka adalah anak atau cucu lelaki dari Tarung, Ngolong, Philipus Nalang, dan Meka Ndo, empat tetua suku Walan yang semuanya sudah almarhum.

Dua hari

Diiringi lagu khusus, mengikuti irama taluan gong dan gendang, kesepuluh penari yang sudah dilengkapi giring-giring di sekitar tapak kaki secara perlahan melangkah maju mengelilingi tiang gantungan ngadhu. Sesekali mereka mengibaskan selendangnya dengan entakan kaki yang lebih keras disertai pekikan, ha…! ha…! ha…! Pekikan ini hanya diucapkan oleh penari paling depan.

Agustinus Amat mengatakan, atraksi raga seperti itu dipentaskan selama dua hari. Khusus hari pertama, atraksi raga tanpa hewan kurban dilakukan dua kali, yakni menjelang siang, yang disebut wedang pari sebagai pertanda ritual dimulai. Disusul kemudian pada petang hari yang lazim disebut raga ramang laran sebagai simbol kegembiraan tuan rumah menjemput kedatangan segenap anggota keluarga.

Pada puncak acara, hari kedua, sebagaimana biasanya, atraksi raga dilakukan tiga kali. Pertama bernama soa kaba, sebagai pertanda dimulainya kegiatan mengikat hewan kurban kerbau pada tiang gantungan. Kedua, raga naka, simbol pernyataan kegembiraan atas keberhasilan mendapatkan hewan kurban dan rezeki lainnya. Ketiga atau terakhir, menjelang petang, adalah raga sulung atau atraksi menjelang pemotongan hewan kurban.

Nilai luhur apa di balik raga kaba? Marcel Robot menggambarkan, ritual raga kaba lazim juga dengan nama lain: kelas meje atau kelas mese, yang lebih kurang bisa diterjemahkan sebagai ritual puncak bagi arwah leluhur atau kelompok tetua yang telah meninggal. Maknanya adalah pensucian arwah agar jauh dari halangan dan rintangan dalam perjalanan menghadap Mori Agu Ngaran atau Pemilik Alam Semesta.

Nilai luhur bagi yang masih hidup, raga kaba sungguh mengajarkan kejujuran dan hati bersih. Jujur dalam proses, antara lain, dalam menentukan siapa yang sepantasnya menanggung kerbau atau babi kurban. Juga harus jujur dalam proses secara adat untuk memastikan siapa yang paling berhak sebagai pemotong kerbau atau babi, hewan kurban dalam ritual itu.

Selain itu, raga kaba juga merupakan ajang reuni keluarga besar penyelenggara ritual itu. Pertemuan keluarga besar diharapkan sekaligus membuktikan bahwa di antara sesama anggota keluarga tidak ada lagi perselisihan atau pertentangan. Dalam konteks ini, raga kaba haruslah memancarkan perdamaian dalam keluarga besar. Untuk itu, sangat dituntut agar segala perselisihan dalam keluarga kecil (asal) haruslah dipulihkan sebelum menghadiri raga kaba

Tidak ada komentar: